Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi bangunan yang kerap dikaitkan dengan gerhana bulan
Ilustrasi bangunan yang kerap dikaitkan dengan gerhana bulan (commons.wikimedia.org/Bgag)

Intinya sih...

  • Bangsa Maya mahir menghitung siklus astronomi dan piramida El Castillo di Chichen Itza dirancang dengan presisi astronomi luar biasa.

  • Menara Observatorium Beijing dilengkapi instrumen astronomi raksasa untuk melacak posisi bulan dan membantu memprediksi gerhana.

  • Piramida Giza erat dikaitkan dengan fenomena gerhana dan ritual di dalam kuil sering dilakukan ketika gerhana terjadi.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Gerhana bulan total selalu menyimpan daya tarik mistis dan ilmiah. Fenomena ketika bumi menelan cahaya matahari hingga bulan berwarna merah darah ini tak hanya memukau mata, tapi juga meninggalkan jejak peradaban pada bangunan-bangunan bersejarah di berbagai belahan dunia. Seolah-olah, manusia sejak ribuan tahun lalu sudah tahu bahwa gerhana bukan sekadar bayangan di langit, melainkan pesan kosmik yang patut diabadikan.

Dari piramida kuno hingga observatorium raksasa, banyak bangunan megah dibangun untuk membaca tanda-tanda langit. Uniknya, sebagian bangunan tersebut masih berdiri kokoh sampai sekarang dan terus memikat para peneliti modern. Berikut lima di antaranya yang erat dikaitkan dengan gerhana bulan total.

1. Chichen Itza, pusat prediksi gerhana bangsa Suku Maya

Ilustrasi Chichen Itza di Meksiko (commons.wikimedia.org/Daniel Schwen)

Bangsa Maya dikenal sebagai peradaban yang sangat mahir menghitung siklus astronomi, termasuk gerhana bulan. Di kompleks Chichen Itza di Meksiko, terdapat piramida El Castillo yang dirancang dengan presisi astronomi luar biasa. Menurut peneliti Anthony Aveni dalam Jurnal Res Anthropology and Aesthetics, arsitektur Maya bukan hanya simbol religius, tapi juga berfungsi sebagai kalender kosmik.

Gerhana bagi orang Maya dianggap pertanda ilahi. Para pendeta astronom sering berkumpul di puncak piramida untuk melakukan ritual ketika bulan memerah total. Lebih lanjut, data dalam kumpulan publikasi ilmiah Golden Meteorite Press turut menunjukkan bahwa catatan bangsa Maya soal gerhana cukup akurat, bahkan mampu memprediksi hingga berabad-abad ke depan.

Kini, setiap kali gerhana bulan total terjadi, Chichen Itza menjadi magnet wisatawan dan astronom modern. Mereka ingin merasakan bagaimana sebuah peradaban kuno menjadikan bangunan sebagai jembatan antara langit dan bumi.

2. Menara observatorium di Beijing, warisan astronomi milik kekaisaran

Ilustrasi menara observatorium di Beijing (commons.wikimedia.org/Steve46814)

Di Tiongkok kuno, gerhana bulan sering ditafsirkan sebagai naga raksasa yang “memakan” bulan. Karena itu, istana kekaisaran menugaskan astronom resmi untuk mencatat dan menafsirkan fenomena tersebut. Salah satu situs pentingnya adalah Menara Observatorium Beijing yang berdiri sejak Dinasti Ming pada abad ke-15.

Observatorium ini dilengkapi instrumen astronomi raksasa dari perunggu, seperti armillary sphere dan kuadran besar, yang digunakan untuk melacak posisi bulan. Menurut catatan Joseph Needham dalam Science and Civilisation in China, pengamatan di menara ini membantu kekaisaran memprediksi gerhana dengan ketepatan luar biasa pada zamannya.

Bagi rakyat biasa, gerhana bulan adalah tanda kosmis yang bisa memengaruhi kehidupan mereka. Namun di balik mitos naga, bangunan seperti Menara Observatorium Beijing menjadi bukti nyata betapa seriusnya sebuah peradaban dalam memahami gerak langit.

3. Piramida Giza, panggung kosmik warisan Mesir kuno

Ilustrasi Piramida Giza di Mesir (commons.wikimedia.org/Walkerssk)

Mesir kuno dikenal dengan warisan piramidanya yang menjulang megah. Namun, tak banyak yang tahu bahwa piramida dan kuil juga erat dikaitkan dengan fenomena gerhana. Bagi orang Mesir, bulan berhubungan dengan Dewa Khonsu, dan ketika gerhana terjadi, mereka percaya sedang berlangsung pertarungan kosmik di langit.

Penelitian oleh Giulio Magli dalam Architecture, Astronomy and Sacred Landscape in Ancient Egypt menjelaskan bahwa orientasi piramida Giza sangat terkait dengan titik astronomi tertentu, termasuk lintasan bulan. Hal ini menunjukkan bahwa gerhana bukan sekadar tontonan langit, melainkan bagian dari sistem keagamaan.

Ritual di dalam kuil sering dilakukan ketika gerhana terjadi, sebagai bentuk menjaga keseimbangan antara dewa dan manusia. Dengan demikian, piramida bukan hanya makam raja, tapi juga monumen yang terhubung dengan siklus kosmik.

4. Observatorium Ulugh Beg, kejayaan astronomi yang masih berdiri di Samarkand

Ilustrasi observatorium Ulugh Beg di Samarkand (flickr.com/hapePHOTOGRAPHIX)

Di Asia Tengah, tepatnya di Samarkand, Uzbekistan, berdiri salah satu observatorium paling megah pada abad ke-15, yaitu Observatorium Ulugh Beg. Ulugh Beg, seorang raja sekaligus ilmuwan, membangun bangunan ini untuk menandingi pusat-pusat ilmu astronomi lain di dunia Islam.

Berdasarkan buku terbitan MIT Press London yang bertajuk Islamic Science and the Making of the European Renaissance, observatorium ini memiliki sextant raksasa setinggi 30 meter yang digunakan untuk menghitung posisi benda langit, termasuk perhitungan siklus gerhana bulan. Hasilnya sangat akurat, bahkan catatannya masih relevan dengan astronomi modern.

Keberadaan observatorium ini membuktikan bahwa gerhana bulan total tak hanya disakralkan, tetapi juga dijadikan bahan penelitian ilmiah serius. Ulugh Beg memadukan iman, ilmu, dan kekuasaan dalam satu bangunan kosmik yang monumental.

5. Jantar Mantar, jam raksasa penangkap bayangan langit

Ilustrasi jam raksasa Jantar Mantar di Jaipur (commons.wikimedia.org/Jakub Hałun)

Di India, terdapat kompleks arsitektur astronomi bernama Jantar Mantar, dibangun oleh Maharaja Jai Singh II pada abad ke-18. Ada lima lokasi Jantar Mantar, salah satunya di Jaipur yang kini menjadi warisan dunia UNESCO. Bangunan ini terdiri dari instrumen batu raksasa untuk mengukur waktu, lintasan matahari, dan fase bulan.

Menurut buku yang bertajuk Indian Contributions to Science, instrumen di kompleks Jantar Mantar mampu membantu para ahli India kuno menghitung siklus gerhana dengan presisi yang mencengangkan. Gerhana bulan total dipandang sebagai momentum spiritual sekaligus astronomi, di mana doa-doa khusus dipanjatkan untuk menghindari malapetaka.

Kini, Jantar Mantar masih difungsikan sebagai observatorium publik. Setiap kali terjadi gerhana, para pengunjung bisa melihat langsung bagaimana bayangan langit jatuh tepat ke instrumen kuno tersebut, seolah-olah waktu dan kosmos bertemu di satu titik.

Gerhana bulan total bukan hanya tontonan spektakuler di langit, tetapi juga telah meninggalkan jejak abadi pada bangunan-bangunan bersejarah. Dari Chichen Itza hingga Jantar Mantar, semuanya menjadi saksi bagaimana manusia sejak ribuan tahun lalu selalu berusaha memahami rahasia semesta.

Kini, ketika kita menatap bulan merah darah dengan teleskop modern, kita sebenarnya sedang melanjutkan tradisi panjang para leluhur yang berdiri di atas piramida, kuil, dan observatorium mereka. Bedanya, jika dulu gerhana ditafsirkan sebagai amarah dewa atau naga, sekarang kita tahu—itu hanyalah bayangan bumi. Namun, kekaguman terhadap fenomena kosmik itu tetap sama, abadi di bawah langit yang sama.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team