Ilustrasi jam raksasa Jantar Mantar di Jaipur (commons.wikimedia.org/Jakub Hałun)
Di India, terdapat kompleks arsitektur astronomi bernama Jantar Mantar, dibangun oleh Maharaja Jai Singh II pada abad ke-18. Ada lima lokasi Jantar Mantar, salah satunya di Jaipur yang kini menjadi warisan dunia UNESCO. Bangunan ini terdiri dari instrumen batu raksasa untuk mengukur waktu, lintasan matahari, dan fase bulan.
Menurut buku yang bertajuk Indian Contributions to Science, instrumen di kompleks Jantar Mantar mampu membantu para ahli India kuno menghitung siklus gerhana dengan presisi yang mencengangkan. Gerhana bulan total dipandang sebagai momentum spiritual sekaligus astronomi, di mana doa-doa khusus dipanjatkan untuk menghindari malapetaka.
Kini, Jantar Mantar masih difungsikan sebagai observatorium publik. Setiap kali terjadi gerhana, para pengunjung bisa melihat langsung bagaimana bayangan langit jatuh tepat ke instrumen kuno tersebut, seolah-olah waktu dan kosmos bertemu di satu titik.
Gerhana bulan total bukan hanya tontonan spektakuler di langit, tetapi juga telah meninggalkan jejak abadi pada bangunan-bangunan bersejarah. Dari Chichen Itza hingga Jantar Mantar, semuanya menjadi saksi bagaimana manusia sejak ribuan tahun lalu selalu berusaha memahami rahasia semesta.
Kini, ketika kita menatap bulan merah darah dengan teleskop modern, kita sebenarnya sedang melanjutkan tradisi panjang para leluhur yang berdiri di atas piramida, kuil, dan observatorium mereka. Bedanya, jika dulu gerhana ditafsirkan sebagai amarah dewa atau naga, sekarang kita tahu—itu hanyalah bayangan bumi. Namun, kekaguman terhadap fenomena kosmik itu tetap sama, abadi di bawah langit yang sama.