ilustrasi belajar mengajar (unsplash.com/Kenny Eliason)
Pernah mendengar istilah Pygmalion effect yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti 'dampak Pygmalion'? Pygmalion effect merupakan istilah yang dikemukakan oleh Robert Rosenthal, seorang pakar psikologi.
Pygmalion effect memberikan penafsiran, bahwa cara berpikir dan cara pandang seseorang akan menentukan sikap individu tersebut terhadap lingkungannya. Kemudian, lingkungan pun akan memberikan respons atau reaksi sesuai dengan harapan individu yang mempersepsikan. Ketika kita mengharapkan perilaku tertentu dari orang lain, kita cenderung bertindak dengan cara yang membuat perilaku yang diharapkan lebih mungkin terjadi.
Mulanya istilah tersebut dicetuskan oleh Rosenthal dari penelitiannya, Pygmalion in the Classroom bersama Lenore Jacobson pada tahun 1968. Penelitian itu menunjukkan bahwa harapan yang dimiliki oleh guru berpengaruh besar terhadap kinerja murid-muridnya.
Ekspektasi yang ditekankan oleh guru kepada muridnya diinternalisasikan oleh murid dan menjadi bagian dari konsep diri mereka. Alhasil, murid cenderung bertindak sesuai dengan keyakinan terhadap diri mereka sendiri.
Rosenthal dan Jacobson telah berhasil membuktikan, bahwa harapan guru berfungsi sebagai penggerak perilaku murid yang ditujukan untuk memenuhi harapan guru itu sendiri. Oleh karena itu, hal ini disebut pula dengan istilah falsafah pemenuhan diri (self-fulfilling prophecies). Meskipun pada kenyataannya tidak semua guru rentan terhadap dampak Pygmalion.
Secara keseluruhan kisah tersebut mengajarkan kita untuk dapat memisahkan antara harapan dengan kenyataan. Bukan berarti kita tidak memiliki impian, melainkan berupaya untuk memahami kekurangan dan kelebihan yang dimiliki di samping menghargai kehidupan ini.
Pygmalion effect juga memberikan kita kesadaran untuk tidak menaruh ekspektasi sembarangan kepada orang lain, terlebih ekspektasi tersebut bermakna negatif. Bereskpektasi positif itu penting, tetapi kita juga perlu mengetahui batas dan tujuannya.