Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Situs Kuno yang Bersinar di Bawah Hunter’s Moon
Ilustrasi situs kuno yang berkaitan dengan hunter’s moon (commons.wikimedia.org/Steve FUNG)

Intinya sih...

  • Intihuatana stone, ‘penambat matahari’ yang juga memantulkan cahaya bulan

  • Temple of the moon, gua sakral tempat ritual bulan di lereng gunung

  • Ġgantija temples, tempat pemujaan kesuburan yang disinari bulan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Ketika malam musim gugur tiba dan bulan purnama bersinar lebih lembut namun penuh wibawa—fenomena yang dikenal sebagai Hunter’s Moon—langit bukan lagi sekadar kanvas hitam dengan titik cahaya, tetapi cermin mitos dan astronomi bagi peradaban kuno. Di banyak budaya, sinarnya dianggap jembatan antara manusia dan alam, penanda musim, ritus, dan kekuatan kosmik yang tak kasat mata.

Dalam artikel ini, mari kita jelajahi lima situs kuno yang, dalam sekilas bayangan dan orientasi batu purba mereka, konon ‘bersinar’ dalam relasi khusus dengan cahaya bulan—terutama Hunter’s Moon. Mulai dari Andes Peru, hingga gurun Nabatea dan kepulauan Pasifik, masing-masing punya kisah tersendiri tentang bagaimana cahaya bulan menjadi sakral dan simbolik.

1. Intihuatana stone, ‘penambat matahari’ yang juga memantulkan cahaya bulan

Ilustrasi intihuatana stone (flickr.com/Andres Bertens)

Intihuatana Stone, yang berada di kompleks Machu Picchu, dikenal sebagai ‘hitching post of the sun’, yakni tempat di mana matahari secara simbolis ‘diikat’ oleh bangsa Inca. Batu ini dipahat langsung dari granit dan dirancang memiliki sudut serta permukaan yang secara presisi menandai fenomena seperti matahari di ekuinoks dan solstis.

Meski fungsinya paling terkenal sebagai penanda matahari, tetapi dalam filosofi kosmik Inca, Intihuatana juga dipercaya menjadi neksus antara dunia manusia dan langit—termasuk bulan sebagai institusi langit kedua. Saat bulan purnama seperti Hunter’s Moon, pantulan cahaya lembut di permukaan batu ini bisa dianggap sebagai gema dari tujuan kosmis batu tersebut. Hingga menjadikan batu sakral sebagai titik perantara antara langit dan bumi—dikutip dari buku Steven Gulberg yang bertajuk Astronomy of the Inca Empire.

Dalam praktik ritual dan kalender agraris Inca, Intihuatana—dengan kemampuannya melacak cahaya dan bayangan—kemungkinan membantu menjaga keseimbangan antara siklus matahari, bulan, dan musim panen.

2. Temple of the moon, gua sakral tempat ritual bulan di lereng gunung

Ilustrasi temple of the moon (commons.wikimedia.org/Yusuke.HO)

Temple of the Moon atau Great Cavern berada di lereng Huayna Picchu dekat Machu Picchu, dibangun dalam struktur batu di dalam gua alami. Karena letaknya agak terisolasi dan memerlukan jalur hiking khusus, sering disebut sebagai ‘permata tersembunyi’ di kawasan Inca.

Menurut laman AB Expeditions, arsitekturnya mencerminkan perpaduan dunia atas, tengah, dan bawah(Hanan Pacha, Kay Pacha, Ukju Pacha). Tema penting dalam kepercayaan Inca yang juga menyertakan elemen bulan sebagai dewi atau kekuatan penyeimbang. Meski tidak ada bukti langsung bahwa Temple of the Moon dirancang khusus untuk fenomena lunar seperti Hunter’s Moon, keberadaannya di dalam gua memberi kesan intim terhadap siklus cahaya dan bayangan malam. Cahaya bulan bisa menembus celah atau retak batu gua, menciptakan efek bayangan yang mungkin digunakan dalam ritual malam atau penanggalan rahasia.

Karena nama 'Temple of Moon’ lebih populer dalam turisme modern ketimbang bukti arkeologis kuat, sebagian peneliti menekankan bahwa fungsi utamanya mungkin lebih kepada pemujaan, makam, atau tempat meditasi daripada observatorium teknis. Namun dalam konteks Hunter’s Moon, struktur ini tetap menghadirkan aura sakral bulan di lanskap Andes.

3. Ġgantija temples, tempat pemujaan kesuburan yang disinari bulan

Ilustrasi ġgantija temples (commons.wikimedia.org/FritzPhotography)

Kompleks Ġgantija, terletak di Pulau Gozo, Malta, adalah salah satu situs megalitik tertua di dunia (sekitar 3600—3000 SM) dan diakui sebagai World Heritage. Penelitian arkeoastronomi menunjukkan bahwa bangunan-bangunan Malta, termasuk Ġgantija, memiliki orientasi terhadap matahari dan bulan, yaitu bukaan atau lorong-lorong tertentu memanfaatkan titik terbit matahari atau posisi bulan di horison—dilansir dari laman resmi Heritage Malta.

Dalam budaya prasejarah Malta, konsep kesuburan sangat terkait dengan dewi bulan dan siklus agraris. Struktur ruang, apsis, dan jalur antara aula kemungkinan dirancang agar cahaya bulan tertentu dapat menerangi altar atau permukaan batu suci pada malam-malam tertentu (termasuk purnama). Pengunjung hari ini bisa merasakan betapa lumen bulan atau bayangan lembut mungkin menyentuh ruang tersembunyi dalam kuil pada malam spesial—memberi kesan bahwa kuil itu ‘berbicara dalam bahasa cahaya bulan’.

Dengan memproyeksikan hubungannya terhadap siklus lunar, Ġgantija bisa masuk dalam narasi bahwa pada malam seperti Hunter’s Moon, Kuil ini ‘menerima’ pancaran bulan sebagai energi sakral, memperkuat hubungan antara manusia, alam, dan misteri kesuburan purba.

4. Rapa Nui, tempat patung besar yang ‘menatap’ bulan sebagai simbol waktu

Ilustrasi rapa nui yang banyak patung besar (commons.wikimedia.org/Dennis G. Jarvis)

Pulau Paskah (Rapa Nui) adalah laboratorium hidup astronomi prasejarah, dikarenakan banyak ahu dan moai (patung batu besar) yang berorientasi serta berkaitan dengan peristiwa astronomis. Beberapa platform ahu menghadap matahari saat titik balik musiman, tetapi juga ada indikasi observasi bulan dan objek langit lain seperti kelompok Pleiades.

Secara khusus, patung moai bernama Ahu Ura Urenga dianggap memiliki orientasi terhadap fenomena bulan. Ada catatan lokal yang mengaitkan nama-nama moai dengan bulan, misalnya ada moai yang disebut ‘mahina’ yang bermakna bulan dalam legenda dan penelitian. Dalam konteks Hunter’s Moon, bayangkan patung moai menghadap ke titik di mana bulan purnama musim gugur muncul. Hal ini dianggap sebagai saksi bisu lewat ribuan malam—dilansir dari Jurnal Revista Mexicana de Astronomia y Astrofisica.

Dalam penelitian arkeoastronomi yang lebih luas, pulau ini dianggap menggunakan kalender batu, retakan batu, dan petrografi untuk menandai waktu bulan dan matahari. Maka meskipun tidak ada bukti konkret bahwa Rapa Nui memiliki ‘ritual Hunter’s Moon’ spesifik, keselarasan antar batu, garis pandang, dan mitos pulau ini memungkinkan spekulasi bahwa purnama musim gugur dianggap sebagai momen penting dalam kalender batu mereka.

5. Petra, kota batu yang bercahaya kemerahan di bawah sinar bulan purnama musim gugur

Ilustrasi petra di Yordania (commons.wikimedia.org/Diego Delso)

Petra, ibu kota kuno Kerajaan Nabatea, dibangun dengan perhatian yang teliti terhadap lanskap, relief batu, dan timbunan bayang-cahaya. Analisis orientasi arkeoastronomi pada bangunan Petra menunjukkan bahwa monumen-monumen seperti Ad Deir dan Urn Tomb memiliki fenomena cahaya dan bayangan saat titik solstis atau ekuinoks, yaitu menunjukkan bahwa langit menjadi bagian integral dari tata ruang sakral mereka.

Dalam konteks Hunter’s Moon, selama malam purnama musim gugur, batu-batu merah Petra bisa memantulkan cahaya bulan. Hingga memunculkan siluet dramatis di fasad dan banyak relief yang menciptakan kesan kemerahan dan ‘menyala lembut’ di bawah bulan. Beberapa arkeolog menyebut ini sebagai jenis hierophany, yakni manifestasi ilahi dari cahaya alam pada titik titik arsitektural tertentu—dilansir dari portal resmi UNESCO World Heritage Convention.

Meski tidak ada sekumpulan ritual tertulis yang memastikan bahwa orang-orang Nabath mengadakan upacara khusus pada Hunter’s Moon, kombinasi antara orientasi bangunan ke fenomena langit dan lanskap dramatis Petra mendukung hipotesis bahwa malam bulan purnama musim gugur dianggap sakral dalam kosmologi Nabatea—bahwa kota batu ini ‘menyala dalam bisikan bulan’ di malam-malam tertentu.

Di antara bayang-bayang batu, lekuk lembah, dan langit malam yang sunyi, kita bisa membayangkan bahwa Hunter’s Moon menjadi panggilan rahasia bagi peradaban kuno saat cahaya bulan bergerak lambat, memantul, dan menembus celah struktur purbakala, menghubungkan manusia dan langit dalam dialog tak kasat mata. Lima situs di atas masing-masing menyisakan bekas jejak kemungkinan bagaimana bulan pernah menjadi sutradara dalam drama spiritual dan astronomi mereka.

Meskipun bukti empiris kuat untuk ritual Hunter’s Moon spesifik belum selalu tersedia, sinergi antara orientasi arkeoastronomi, keselarasan cahaya & bayang, dan simbolisme bulan memberi ruang imajinasi untuk percaya bahwa malam-malam purnama musim gugur tak pernah benar-benar ‘biasa’ di mata leluhur kita. Cahaya bulan adalah saksi dan jembatan, menyentuh batu, menyentuh jiwa, dan menyulam mitos di atas peta bumi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team