Ilustrasi Borobudur yang punya segudang relief dan berkaitan dengan siklus kosmik (pexels.com/Han Sen)
Borobudur, mahakarya arsitektur Buddha di Jawa Tengah, memang belum dikonfirmasi sebagai observatorium matahari. Namun, beberapa peneliti alternatif seperti Widhianningrum dari Universitas Brawijaya menyebutkan kemungkinan adanya hubungan simbolik antara relief dan siklus kosmik, termasuk pergerakan matahari.
Pola stupa yang membentuk mandala tiga dimensi dianggap menyimbolkan perjalanan cahaya menuju pencerahan, dan terbitnya matahari dari arah timur bisa jadi sengaja disejajarkan dengan lorong-lorong utama. Meskipun bukan “observatorium” dalam arti teknis seperti Stonehenge, Borobudur adalah kalender spiritual yang membaca ritme alam dalam bahasa dharma.
Apakah relief dan struktur itu memang dirancang untuk menandai titik balik matahari? Sains belum sepenuhnya menjawab. Tapi simbolisme cahaya dan pencerahan begitu dominan di setiap sudutnya.
Solstis adalah titik balik—bukan hanya matahari di langit—sebuah kesadaran di dalam jiwa manusia. Situs-situs purba ini memberi petunjuk bahwa nenek moyang kita tak sekadar membangun untuk berteduh, tapi juga untuk memahami keteraturan kosmos.
Dalam mitos, cahaya matahari adalah dewa. Dalam sains, ia adalah foton. Tapi di ruang peradaban kuno, keduanya menyatu di antara bayang-bayang batu dan kilauan cahaya pagi. Mungkin, pertanyaan sesungguhnya bukan apakah mereka tahu soal solstis, melainkan kenapa mereka merasa harus menandainya dengan begitu sakral?