6 Fakta Menarik Krabuku Sangihe, Betina Merayu Jantan untuk Kawin

Sebagai hewan endemik Pulau Sangihe di Sulawesi Utara, jangkauannya diperkirakan mencapai 576 kilometer persegi. Pulau tersebut terletak di sebalah timur Laut Kaleb dan bagian barat daya Laut Filipina di sisi timur Indonesia. Mereka hidup di daerah beriklim tropis serta subtropis dengan beberapa iklim antara musim kemarau dan musim hujan.

Animal Diversity menginformasikan bahwa krabuku sangihe biasanya ditemukan di pohon kelapa, bambu, tanaman merambat dan semak belukar. Habitat huniannya juga terbatas pada hutan, semak belukar, lahan basah di sekitar kawasan pertanian, peternakan dan pedesaan.

Sumber yang sama menjelaskan bahwa menu makan krabuku sangihe adalah serangga termasuk ngengat, belalang, semut dan kumbang. Mereka juga memburu vertebrata kecil seperti buurng dan kadal. Krabuku sangihe mencari makan dalam kelompok.

Di penangkaran, mereka diberi makan sekitar 48 persen jangkrik, 24 persen cacing, 24 persen belalang dan 4 persen tokek. Asupan hariannya kisaran 10--12 gram per hari.

Berdasarkan informasi dari Net Primate Conservancy, krabuku sangihe aktif di malam hari dan menghabiskan waktunya untuk mencari makan. Matanya besar, kaya akan pembuluh darah dan saraf yang membantunya bisa melihat dalam kondisi cahaya redup. Selain itu, krabuku sangihe memiliki tulang belakang khusus yang memungkinkannya memutar kepala hampir 180 derajat ke dua arah.

Berarti krabuku sangihe bisa melihat area di belakangnya dengan posisi tubuh menghadap ke batang pepohonan. Kemampuan itu sangat menguntungkan sebab mereka bisa selalu waspada terhadap kehadiran pemangsa di sekitarnya,

Sebagai hewan penghuni pepohonan, krabuku sangihe memiliki otot kaki dan lengan yang kuat. Karenanya, memudahkan mereka melompat sejauh 3 meter di antara pepohonan. Krabuku menempel secara vertikal pada dahan atau batang pepohonan, jari tangan dan kakinya panjang sehingga memudahkannya mencengkeram.

Krabuku terkenal dengan panggilan duetnya yang dilakukan saat fajar dan petang, tepat setelah mereka meninggalkan sarangnya. Nada panggilannya berbeda dari yang lain. Betina membuat vokalsiasi dua nada dan jantan merespon dengan panggilan satu nada yang cepat. Dalam duet tersebut, nada pertama betina seperti peluit panjang dan nada keduanya menurun dengan cepat. Berbeda dengan nada jantan yang berupa rangkaian kicauan.

Ada juga panggilan khusus agar tetap terhubung satu sama lain. Selain vokalisasi, krabuku sangihe memanfaatkan penandaan aroma untuk berkomunikasi. Mereka menggunakan kelenjar urin dan aromanya untuk menandai batang pepohonan, biasanya menginformasikan batas wilayah atau kesehatan reproduksinya. Beberapa tanda aroma bisa dideteksi oleh hidung manusia.

Beberapa pengamatan menunjukkan sistem perkawinan krabuku sangihe bisa fleksibel. Beberapa individu memilih membentuk ikatan dengan satu pasangan (monogami) dan yang lainnya bisa kawin dengan banyak pasangan (poligami). Musim kawinnya terjadi sepanjang tahun, tidak ada waktu spesifik. Mungkin bergantung pada buah musiman untuk menambah energinya.

Pada periode tersebut, betina menggunakan kelenjar yang berada di dekat organ reproduktifnya untuk menandai batang pepohonan atau ranting. Lalu, jantan akan mengendus aroma itu sekaligus menerima informasi bahwa betina sudah siap untuk kawin. Betina mengandung selama 5--6 bulan sebelum melahirkan.

Krabuku sangihe ternyata memiliki adaptasi khusus agar tetap waspada pada pemangsa. Saat ini, mereka diklasifikasikan sebagai Endangered. Krabuku sangihe dilindungi oleh undang-undang sehingga tidak bisa diburu dan ditangkap. Sayangnya, implementasi dari undang-undang masih belum berjalan maksimal.