TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

7 Fakta "Dancing Plague", Wabah Misterius yang Meneror Eropa

Pengidapnya terus menari sampai pingsan atau bahkan mati

headtopics.com

Dancing plague (wabah menari), juga disebut sebagai dancing mania, adalah sebuah wabah yang pernah terjadi di seluruh bagian Eropa Barat. Wabah ini menimpa penduduk Eropa dari abad ke-14 hingga ke-17, dan mulai muncul setelah mereka tertimpa wabah bubonic.

Namun, insiden paling terkenal dari wabah ini terjadi pada musim panas 1518 di Kota Strasbourg (saat itu masih menjadi wilayah Kekaisaran Romawi Suci, sekarang Prancis) di mana orang-orang sampai meninggal dunia karena kelelahan. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak 7 fakta tentang wabah menari di bawah ini.

1. Kasus pertama: Frau Troffea

pastmedicalhistory.co.uk

Seminggu sebelum festival Mary Magdalene dilaksanakan (23 Juli 1518), seorang wanita bernama Frau (Indonesia: nyonya) Troffea keluar dari rumahnya dan mulai menari di jalanan Strasbourg. Dia menari sepanjang hari dan baru berhenti ketika ia pingsan pada malam harinya.

Sebagaimana dikutip dari buku The Dance Manias of The Middle Ages, Frau Troffea tidur selama beberapa jam, kemudian bangun dan memulai tarian anehnya lagi. Pada hari ketiga, sepatunya basah oleh darah. Dia kelelahan, tetapi tidak bisa mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.

Para warga setempat menyaksikan kasus ini sampai, beberapa hari kemudian, Frau Troffea dibawa ke sebuah gereja untuk disembuhkan. Namun sayang, semuanya sudah terlambat.

Setelah kasus Frau Troffea, penduduk Strasbourg lain menari di jalanan. Menurut History, pada awalnya hanya tiga puluh orang yang menari, tetapi dengan cepat melesat menjadi lebih dari 400 orang. Mereka baru berhenti menari ketika kaki mereka lecet atau mati kelelahan.

2. Penyebab jelasnya masih tidak diketahui

history.com

Kasus ini tidak berhenti pada akhir bulan Juli 1518, karena pada bulan Agustus semakin banyak penduduk Strasbourg yang turun ke jalan-jalan dan mulai menari. Hal ini membuat mereka yang normal (tidak menari) menjadi ketakutan. Semakin lama, para "penari" semakin tampak seperti orang yang marah.

Para warga Strasbourg yang melihat fenomena ini pun mulai berdebat perihal siapa yang harus disalahkan: Tuhan atau iblis. Pada saat itu, ada ratusan orang yang menari di jalanan sampai mereka berkeringat, berdarah, dan mengalami kelelahan yang luar biasa. Diperkirakan sebanyak 15 orang meninggal setiap hari akibat wabah ini.

Lalu, adakah penyebab khusus yang telah mendasari wabah ini? Mungkinkah itu histeria massal atau virus? Sampai hari ini, tidak ada yang tahu apa yang menyebabkan wabah menari di Strasbourg dan di bagian Eropa Barat lainnya. Namun tetap saja, ada banyak spekuluasi tentangnya.

Baca Juga: 4 Fakta Plague Doctor, Dokter dengan Topeng Burung yang Aneh

3. Pendapat Paracelsus tentang wabah menari

medium.com

Paracelsus, seorang dokter dan alkemis, mengunjungi Strasbourg pada tahun 1526, selang beberapa tahun setelah insiden wabah menari di tahun 1518. Dia adalah orang pertama yang menulis penelitian tentang Frau Troffea. Dia juga adalah orang pertama yang menggunakan istilah "koreografi" untuk menggambarkan penyakit menari.

Untuk penyebab wabah menari, Paracelsus memiliki pendapatnya sendiri. Setelah melakukan penyelidikan, diketahui kalau suami Frau Troffea sangat membencinya ketika dia mulai menari di jalanan. Paracelsus dan beberapa orang di Strasbourg percaya kalau dia memulai tariannya hanya untuk mengisengi suaminya.

Melansir dari buku The Dancing Plague, Paracelsus menjelaskan tiga penyebab utama wabah menari. Pertama, penyakit ini lahir dari imajinasi. Kedua, orang-orang mungkin ikut menari karena mengalami frustrasi seksual. Ketiga dan terakhir, Paracelsus merasa kalau para istri yang tidak bahagia adalah penyebab utama dari wabah menari.

4. Stres sosial dan teori tentang penyebab wabah menari lainnya

sporcle.com

Selain ketiga spekulasi yang telah disebutkan di atas, salah satu penyebab wabah menari yang dipercayai secara umum adalah stres sosial. Tampaknya, para "penari" ini mengalami kontraksi kaki yang tidak disengaja, sesuatu yang kadang terlihat pada sebagian kecil pasien psikiatris hari ini.

Mengutip dari Encyclopædia Britannica, sejarawan Amerika, John Waller, membeberkan hal ini di beberapa makalahnya, menyebut kalau wabah menari adalah sebuah bentuk gangguan psikogenik massa. 

Namun, John Waller juga menganggap kalau penyebab wabah ini mungkin menyangkut St. Vitus, seorang tokoh yang hidup pada abad ke-16. Dikenal sebagai santo yang melindungi orang-orang yang terkena penyakit epilepsi, banyak yang percaya kalau ia juga memiliki kekuatan untuk memberikan "kutukan menari." 

Seperti dilansir dari buku The Westminster Review, Volume 51-52, stres ini juga mungkin disebabkan oleh gangguan spiritual, di mana para penderitanya percaya kalau mereka dihukum oleh Tuhan karena berbagai dosa yang telah dilakukan.

Sosiolog asal Amerika, Robert Bartholomew, bahkan mengemukakan kalau para penari ini adalah penganut sekte sesat, yang menari untuk mencari perhatian dari Tuhan mereka. Namun, patut diketahui juga kalau ada ketegangan antar kelas dalam masyarakat Eropa selama kurun waktu tersebut.

Dengan kemiskinan dan kelaparan yang dialami oleh kebanyakan penduduk Eropa pasca wabah Maut Hitam, maka bukan hal yang mengejutkan kalau ada sekelompok orang yang sudah muak dan secara tidak sadar ingin keluar dari tekanan tersebut dengan "menari."

5. Wabah menari di Italia

wellcomecollection.org

Prancis bukan satu-satunya negara yang terkena wabah menari. Italia juga sempat memiliki wabah menari yang serupa. Namun, di sana mereka menyebutnya sebagai tarantisme. Pada saat itu, orang-orang percaya kalau tarian spontan itu disebabkan oleh gigitan tarantula, di mana mereka yang digigit akan langsung melakukan gerakan aneh dan menari. 

Dikatakan kalau orang-orang yang menari ini tertarik untuk pergi ke laut, dan banyak yang mati setelah melemparkan diri ke dasar laut. Meskipun gigitan tarantula (nampaknya) tidak beracun bagi manusia, kasus tarantisme di Italia baru berakhir pada tahun 1959.

6. Metode untuk menyembuhkan wabah menari

Getty Images via corriere.it

Berbagai metode digunakan untuk mencoba menyembuhkan mereka yang terkena wabah menari. Salah satu metode yang umum digunakan melibatkan pengikatan, di mana para korban diikat dengan kain, mirip dengan cara kita membungkus bayi dengan pakaian lampin.

Kemungkinan besar hal tersebut dilakukan untuk mencegah para korban agar tidak menari sampai berdarah-darah. Diketahui juga kalau beberapa korban mengklaim bahwa sesak yang terasa di sekitar perut membantu membebaskan mereka dari kegilaan ini. Beberapa orang bahkan meminta agar dipukul atau diinjak perutnya untuk meringankan gejala ini.

Selain metode di atas, Paracelsus juga merekomendasikan obatnya sendiri untuk wabah menari. Lebih jauh, dia menjuluki para korban sebagai "pelacur dan bajingan" dan merasa bahwa mereka harus diperlakukan sama buruknya dengan julukan yang telah ia sebutkan.

Pertama, Paracelsus bersikeras kalau mereka harus dikurung di dalam ruangan gelap. Semakin menyiksanya ruangan tersebut, maka semakin baik. Kedua, para korban harus berpuasa dan hanya diberi makan sepotong roti dan segelas air.

Tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan praktik yang kejam tersebut, atau apakah metode itu berhasil atau tidak. Namun, metode itu mungkin lebih buruk daripada pengusiran setan yang dilakukan oleh gereja kepada korban wabah menari.

Baca Juga: 8 Hal Positif yang Muncul Semenjak Terjadinya Pandemi, Ada Hikmahnya

Verified Writer

Shandy Pradana

"I don't care that they stole my idea. I care that they don't have any of their own." - Tesla // I am a 20% historian, 30% humanist and 50% absurdist // For further reading: linktr.ee/pradshy

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya