Berkali-kali sejarah menunjukkan kepada kita kalau kebijakan pemerintah sering kali bertentangan dengan kebutuhan dan keinginan rakyat. Bahkan ketika demokrasi muncul pada abad ke-20, hal ini tidak menjamin kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyat. Fakta justru mengungkapkan sebaliknya, ketika rakyat bersuara menolak kebijakan pemerintah.
Pemerintah terburuk dalam sejarah menghasilkan pemimpin-pemimpin pembunuh massal seperti Joseph Stalin dari Uni Soviet, Adolf Hitler dari Jerman, Mao Zedong dari China, dan Pol Pot dari Kamboja. Para tiran seperti itu muncul dengan mengagung-agungkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Namun, rezim yang tidak kejam pun masih membawa penderitaan, kesulitan hidup, dan tragedi bagi rakyatnya.
Demikian halnya dengan Iran, negara modern yang terjebak di antara dua kekuatan besar dunia: Rusia dan Inggris. Pada awal 1900-an, kekuatan imperialisme menimpa negara-negara seperti Iran dan Afghanistan. Adapun, Inggris dan Rusia, khususnya, pasang badan di wilayah Iran. Pada saat yang sama, pertikaian internal antara politisi, ulama, mahasiswa, dan banyak lagi membuat Iran di ambang kehancuran pada 1921.
Pada 1941, Dinasti Mohammad Reza Pahlavi berkuasa dan memodernisasi infrastruktur, pendidikan, dan norma sosial di Iran. Kemajuan terjadi secara besar-besaran dan Westernisasi terjadi dengan cepat. Namun, kaum konservatif Iran khawatir dengan masa depan bangsa mereka, hingga akhirnya mereka memberontak. Revolusi Islam di Iran pada 1979 membuat pembangunan negara tersebut terhenti selama beberapa dekade, dan rakyat pun menyambutnya dengan suka cita. Lalu, apa yang terjadi setelah Revolusi Iran?