Anjing jenis bull terrier diketahui sebagai salah satu jenis anjing domestik yang dapat mengidap autisme. (commons.wikimedia.org/Goldmull)
Dari sejumlah penelitian yang dilakukan pada sejumlah objek, ternyata memang benar kalau kondisi autisme bisa ditemukan pada hewan. Meski objek penelitian masih didominasi oleh mamalia, secara umum peneliti masih membuka kemungkinan tentang keberadaan kondisi autisme pada spesies hewan lainnya. Yang jelas, kondisi ini sudah diteliti dan terbukti ditemukan pada tikus, beberapa jenis anjing domestik, serta primata.
Untuk objek berupa tikus, penelitian yang dilakukan Paul H. Patterson bisa menjadi acuan dalam pembuktiannya. Dilansir PubMed Central, tiga gejala utama autisme yang jadi fokus pada penelitian ini ternyata terbukti ditemukan pada tikus-tikus yang diteliti. Menariknya, Paul menuliskan kalau faktor genetik dan lingkungan saat masa kehamilan tikus berpengaruh terhadap gejala autisme yang ditunjukkan oleh mereka.
Kemudian, contoh autisme pada anjing domestik dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Profesor Emeritus Nicholas Dodman dan Alice Moon-Fanelli. Dalam jurnal "Characteristics of Compulsive Tail Chasing and Associated Risk Factors in Bull Terriers" terbitan Journal of the American Veterinary Medical Association, Dodman dan Alice meneliti sekitar 333 anjing berjenis bull terrier untuk mengamati persamaan perilaku mereka secara umum. Ternyata, hasilnya bisa dibilang cukup mengejutkan.
Sekitar 85 persen anjing yang jadi objek penelitian menunjukkan perilaku repetitif berupa mengejar-ngejar ekornya dengan berbagai cara. Menurut Dodman dalam Tufts Now, kalau gejala autisme pada manusia ditandai dengan kesulitan berbicara dan interaksi sosial, maka mengejar-ngejar ekor secara repetitif pada anjing bisa dibilang sebagai hal yang sama. Selain tanda tersebut, anjing yang diduga memiliki kondisi autisme juga mengalami lonjakan emosi secara tiba-tiba serta kejang-kejang secara mendadak.
Pada primata, makaka jadi spesies yang diketahui mengidap gejala autisme berdasarkan pengujian perilaku, genetik, dan neurobiologisnya, dilansir Above & Beyond Therapy. Penelitian yang dipimpin oleh Kyoko Yoshida dan tim yang berjudul, "Single-neuron and Genetic Correlates of Autistic Behavior in Macaque" menyebut bahwa makaka jepang secara spesifik terbukti dapat mengalami gejala autisme. Hal ini utamanya terlihat dari perilaku sosial individu yang mengidap autisme kepada kelompoknya.
Sebagai hewan yang hidup berkelompok, punya banyak bentuk komunikasi dan ekspresi wajah, serta perilaku yang unik, makaka jepang serta jenis primata lainnya bisa dibilang merupakan hewan yang tepat untuk meneliti seputar autisme. Sebab, kemiripannya pada manusia bisa jadi kunci bagi kita untuk mempelajari lebih jauh soal mekanisme saraf yang mempengaruhi munculnya autisme pada manusia.
Selain ketiga contoh di atas, masih banyak mamalia lain yang diduga dapat mengalami kondisi autisme. Kuda, kucing, ataupun peliharaan manusia lain bisa saja mengalami hal-hal yang serupa seperti tiga hewan di atas. Akan tetapi, sejauh tulisan ini dibuat, belum ditemukan bukti keberadaan autisme pada reptil, burung, maupun ikan.