Gajah adalah salah satu spesies hewan yang terbukti memiliki empati yang cukup kompleks terhadap kawanan sosialnya. Jika ada gajah dalam satu kelompoknya yang mati, gajah-gajah lainnya akan berduka, bahkan stres. Empati pada gajah mengundang pertanyaan yang akhirnya membuka jalan baru bagi studi dan penelitian mengenai fauna.
Bagaimana gajah memandang kita? Apa yang ada di pikiran mereka jika mereka melihat dan ada di dekat kita? Dulu, ada anggapan yang menyatakan bahwa gajah akan melihat kita sebagai makhluk yang imut, mirip layaknya kita yang melihat anak anjing atau kucing. Anggapan tersebut bisa saja benar, namun bagi ilmuwan anggapan itu masih dirasa kurang tepat.
Menurut jurnal sains yang diterbitkan dalam laman NCBI pada 2014 lalu, rupanya gajah memiliki cara pandang yang diskriminatif terhadap manusia. Ya, perasaan diskriminatif ini muncul karena memang gajah mampu merasakan empati sekaligus mengingat apa yang pernah ia alami sebelumnya.
Seekor gajah akan ingat dengan orang yang pernah merawat dan memberikan dia makan. Namun, di lain sisi, ia juga akan cemburu dan diskriminatif terhadap siapa saja yang berusaha mendekati orang tersebut. Masih belum diketahui dengan pasti apakah cara pandang ini juga berkaitan dengan pola pikir gajah yang memandang manusia sebagai makhluk yang imut tadi.
Faktanya, hubungan antara gajah dan manusia sudah terjadi sejak lama. Zaman dulu gajah digunakan untuk membantu manusia dalam banyak hal, misalnya membangun sesuatu dan berperang. Uniknya, gajah dapat membedakan warna-warna tertentu di lingkungannya.
Jika ada orang berpakaian merah selalu mengganggu seeokor gajah, misalnya, gajah tersebut akan mengingat warna merah sebagai warna pengganggu. Secara umum, bisa saja gajah tersebut akan berperilaku diskriminatif terhadap orang lain yang juga mengenakan baju berwarna merah.