Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
apa benar pohon sawit bisa menyerap karbon dioksida?
Pohon sawit. (commons.wikimedia.org/Adam Jones)

Intinya sih...

  • Pohon sawit memiliki kapasitas penyimpanan karbon yang jauh lebih rendah dibanding hutan tropis

  • Tanah perkebunan sawit cenderung kurang stabil dan rentan terhadap banjir dibanding tanah hutan tropis

  • Konversi hutan menjadi perkebunan sawit mengurangi simpanan karbon dalam jumlah besar dan berdampak pada iklim serta siklus air

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banjir yang terjadi belakangan membuat kita kembali menilik statement kepala negara yang terlontar pada rencana pemerintah pada periode pembangunan nasional 2025–2029, Desember 2024 lalu mengenai pohon sawit. Isu ini memancing diskusi baru, terutama karena banjir yang belakangan melanda beberapa daerah di barat Indonesia ikut menguatkan rasa ingin tahu soal bagaimana perubahan tutupan lahan mempengaruhi siklus lingkungan.

Banyak orang jadi bertanya apakah benar sawit bisa menggantikan peran hutan dalam menyerap karbon dioksida dan menjaga fungsi ekosistem? Sebab dalam pernyataan yang diucapkan pada Desember tahun 2024, sawit dianggap “sama-sama pohon” jadi masyarakat tak perlu takut dengan adanya deforestasi. Dari pertanyaan itu wajar kalau publik kini ingin tahu mengenai perbedaan kemampuan masing-masing vegetasi dan kebenaran apakah sawit bisa menggantikan peran hutan sebagai penyerap karbon dioksida. Berikut penjelasan yang lebih rinci.

1. Perbedaan struktur tanaman menentukan kapasitas karbon yang bisa diserap

Kebun sawit. (commons.wikimedia.org/CEphoto, Uwe Aranas)

Pohon sawit memang masuk kategori tanaman berkayu, tetapi struktur tubuhnya tidak sekompleks pohon yang ada di hutan tropis yang memiliki lapisan vegetasi berjenjang. Sawit tumbuh tunggal tanpa kanopi tebal sehingga volume kayu yang terbentuk jauh lebih sedikit. Kondisi ini membuat penyimpanan karbonnya lebih rendah walaupun secara kasat mata terlihat tinggi dan besar. Pada riset ekologis, kemampuan menyimpan karbon sangat dipengaruhi jumlah biomassa dan keragaman tumbuhan di sekitarnya.

Sementara itu, hutan tropis memiliki beragam jenis pohon, semak, liana, dan organisme lain yang membentuk jaringan penyimpanan karbon di atas tanah maupun di bawah tanah. Serasah daun yang terus menumpuk dan lapisan tanah yang aktif secara biologis menambah kapasitas simpanannya. Karena itu, hutan tropis bisa menyimpan 300–500 ton karbon per hektare, sedangkan sawit hanya sekitar 40–80 ton. Perbedaannya menunjukkan bahwa penyimpanan karbon tidak bisa disamakan hanya karena keduanya sama-sama pohon.

2. Fungsi tanah pada hutan tropis jauh lebih stabil dibanding tanah perkebunan sawit

Hutan tropis (commons.wikimedia.org/Thomas Fuhrmann)

Tanah hutan tropis memiliki aktivitas mikroba yang tinggi, sehingga proses penguraian dan penyerapan karbon berlangsung terus-menerus. Kondisi tersebut membuat tanah menjadi penyimpan karbon jangka panjang yang cukup efektif. Lapisan akar yang kompleks juga membantu mempertahankan struktur tanah saat hujan deras, sehingga aliran permukaan lebih terkontrol. Ini alasan kenapa hutan punya peran besar dalam mengurangi risiko banjir.

Tanah yang dibuka untuk sawit cenderung mengalami penurunan keragaman hayati karena hanya ditanami satu jenis tanaman dalam jangka panjang. Aktivitas mikroba menurun dan terjadi pemadatan tanah akibat alat berat maupun pola pengelolaan kebun. Ketika hujan deras, air sulit meresap sehingga limpasan meningkat dan membawa sedimen lebih banyak. Situasi ini membuat daerah sekitar kebun lebih rentan mengalami banjir dibanding kawasan hutan utuh.

3. Proses fotosintesis sawit tidak sebesar pohon-pohon di hutan tropis

Hutan tropis (commons.wikimedia.org/Teguh aqsha)

Memang benar bahwa sawit dapat menyerap karbon dioksida melalui fotosintesis, tetapi laju penyerapan ini mengikuti luas daun dan kondisi pertumbuhannya. Daun sawit memiliki luas tertentu yang tidak berubah drastis setelah memasuki usia produktif. Artinya, kemampuan penyerapan karbonnya relatif stagnan dan tidak bertambah signifikan seiring waktu. Perkebunan sawit juga umumnya memiliki jarak tanam teratur yang membatasi total jumlah daun per hektare.

Di sisi lain, hutan tropis terus berkembang karena banyak spesies pohon tumbuh dengan ritme berbeda. Semakin tua dan besar suatu pohon, semakin banyak karbon yang dikunci di tubuhnya. Pertumbuhan vertikal dan horizontal kanopi memperluas area fotosintesis sekaligus menambah biomassa. Hutan juga menghasilkan siklus regenerasi alami sehingga kemampuan penyerapan karbonnya berlangsung berlapis-lapis. Kombinasi inilah yang membuat hutan lebih unggul dibanding perkebunan sawit.

4. Konversi hutan ke sawit mengurangi simpanan karbon dalam jumlah besar

Kebun sawit. (commons.wikimedia.org/CEphoto, Uwe Aranas)

Setiap kali hutan dibuka, karbon yang tersimpan selama puluhan tahun langsung terlepas ke udara. Proses pembukaan lahan, baik melalui pembabatan maupun pembakaran, menghasilkan emisi yang cukup besar. Kehilangan biomassa padat dari pohon dewasa menyebabkan penurunan drastis kapasitas penyimpanan karbon. Perubahan tutupan lahan ini yang membuat neraca karbon menjadi negatif dalam jangka panjang.

Pada perkebunan sawit, penanaman baru tidak dapat mengganti karbon yang hilang dari hutan asli. Bahkan ketika sawit tumbuh optimal, selisih kapasitas penyimpanan tetap sangat jauh. Perhitungan berbasis ekologi menunjukkan bahwa butuh puluhan tahun untuk menyerap kembali karbon yang lenyap saat hutan dirusak. Situasi ini membuat ekspansi sawit tidak bisa dikatakan netral karbon, apalagi bila menyasar wilayah dengan keragaman hayati tinggi.

5. Dampak ekologis bisa memengaruhi iklim, siklus air, hingga memicu terjadinya banjir

Jembatan putus akibat banjir. (commons.wikimedia.org/Muhammad Ramadhana)

Hilangnya hutan tropis menyebabkan daerah lebih panas karena penurunan tutupan vegetasi mengurangi penguapan air ke atmosfer. Perubahan ini memengaruhi pola hujan dan mempercepat pengeringan tanah selama musim kemarau. Ketika hujan turun dengan intensitas tinggi, air mengalir lebih cepat di permukaan karena tidak ada akar yang menjaga tanah tetap kokoh. Kondisi inilah yang berkontribusi terhadap banjir di banyak wilayah.

Selain itu, data dari FAO menunjukkan deforestasi akibat sawit mencapai jutaan hektare dalam beberapa dekade terakhir. Pada 2012 saja, sekitar 227 ribu hektare hutan hilang untuk pembukaan kebun baru, termasuk rawa gambut yang sangat kaya karbon. Tahun 2023, lebih dari sepuluh ribu hektare rawa gambut berubah menjadi kebun sawit dan angkanya terus meningkat. Perubahan ini mengurangi fungsi penyimpanan karbon sekaligus melemahkan sistem penahan air alami yang sebelumnya menjaga wilayah sekitarnya dari bencana ekologis.

Sawit memang bisa menyerap karbon dioksida, tetapi kapasitasnya tidak sebanding dengan hutan tropis yang memiliki ekosistem jauh lebih lengkap. Jangan sampai keputusan politik yang keliru yakni berpikir untuk menggantikan hutan tropis dengan sawit. Sebab ini berarti menurunkan kemampuan penyimpanan karbon sekaligus meningkatkan risiko banjir dan kerusakan lingkungan. Setelah memahami perbedaannya, masih pantaskah sawit dianggap "sama-sama pohon" atau setara dengan hutan tropis dalam menjaga iklim di negeri ini?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team