Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
potret murid HIS di Yogyakarta tahun 1935 (digitalcollections.universiteitleiden.nl/KITLV)

Edukasi merupakan salah satu fokus kebijakan sistem politik etis sejak awal tahun 1900. Tak heran jika pemerintah Hindia Belanda membuka banyak sekali sekolah mulai dari tingkat dasar hingga atas.  

Sekolah dasar kala itu berkembang begitu cepat. Sayangnya, perkembangan kualitas maupun kuantitas sekolah dasar tidak disertai dengan keadilan bagi setiap lapisan masyarakat yang ada saat itu. 

Status sosial, ekonomi, dan ras menjadi faktor utama dan pertimbangan tersendiri dalam pendirian berbagai macam sekolah dasar. Bahkan dari namanya saja kita sudah bisa menandai sekolah tersebut diperuntukkan untuk kalangan mana. Jadi, sekolah dasar milik pemerintah Hindia Belanda kebanyakan memberlakukan diskriminasi sosial yang menjadikan masyarakat Hindia Belanda dahulu tampak sekali terkotak-kotak. Yuk, simak macam-macamnya.

1. Sekolah Ongko Siji

potret para siswa sekolah dasar dan seorang guru era Hindia Belanda (colonialarchitecture.eu)

Sekolah Ongko Siji secara umum dibuka pada tahun 1893 berdasarkan Staatsblads van Nederlands Indie tahun 1893 no. 125 yang mula-mula hanya berlokasi di kota Karesidenan dan kota Kabupaten.

Sebagaimana namanya, sekolah ini merupakan lembaga pendidikan formal tingkat dasar yang terbilang elit bagi masyarakat bumiputera. Sekolah ini tidak sembarangan tersedia di setiap distrik, karena memang hanya anak-anak dari kalangan tertentu yang bisa mengakses sekolah tersebut. Anak-anak kalangan elit tersebut meliputi anak wedana, asisten wedana, pegawai negeri, hingga juru tulis perusahaan ataupun kantor pemerintahan. 

Sistem pembelajaran Sekolah Ongko Siji mempunyai waktu belajar tujuh tahun lamanya. Sekolah tersebut menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya. Pelajaran yang diajarkan meliputi geografi, sejarah, ilmu alam, menggambar, dan survei. Kurikulum semacam ini berlaku hingga tahun 1914 berubah menjadi HIS (Hollandsch-Inlandsche School).

Perubahan nama tersebut kemudian berpengaruh pada perkembangan sekolah seperti dalam hal jumlah murid hingga komposisi murid. Jumlah murid semakin lama makin banyak dan komposisinya pun beragam. Bukan hanya kalangan bumiputera tertentu saja, namun juga dari keturunan Eropa dan Timur Asing.

2. Sekolah Ongko Loro

potret siswa sekolah sambungan / vervolgschool di Cisambungan sekitar tahun 1932 (digitalcollections.universiteitleiden.nl/KITLV)

Pada awal dibukanya Sekolah Ongko Loro tahun 1893 menerapkan lama belajar tiga tahun. Sekolah ini sebenarnya hanya ditujukan bagi anak-anak bumiputera pada umumnya, sehingga tidak banyak pelajaran yang harus diberikan. Oleh karenanya Sekolah Ongko Loro bertujuan untuk mencetak pegawai kasar seperti buruh pabrik, perkebunan, dan sebagainya.

Lambat laun sekolah ini menjadi sambungan antara Sekolah Rakyat dengan Vervolgschool setelah tahun 1927. Lama belajar jika digabungkan menjadi 5 tahun masa pembelajaran, dimana Sekolah Rakyat 3 tahun dan Vervolgschool 2 tahun. Hal itu dilakukan karena adanya dualisme sekolah yang diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas yang terdiri dari Sekolah Ongko Loro dan Sekolah Rakyat yang sama-sama memiliki masa belajar 3 tahun.

Sekolah Ongko Loro mempunyai lama belajar tahun 5 (setelah adanya sambungan antara Sekolah Rakyat dengan Vervolgschool) begitupun dengan kelas dibagi menjadi lima tingkatan. Mata pelajaran yang diberikan meliputi bahasa, permainan anak, menghitung, menulis, menggambar, geografi, ilmu alam, dan menyanyi. Adapun bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu.

3. Sekolah Rakyat (Volkschool)

potret siswa dan guru di Sunda, Buitenzorg sekitar tahun 1911 (digitalcollections.universiteitleiden.nl/KITLV

Sekolah Rakyat sering juga disebut sebagai Sekolah Desa. Secara umum, mengutip buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 karya Ricklefs, Sekolah Rakyat dibuka pada tahun 1907 oleh Van Heutsz. Pembukaan Sekolah Rakyat ditujukan sebagai salah satu penyelenggaraan politik etis oleh pemerintah kolonial yaitu untuk kesejahteraan penduduk Bumiputera khususnya masyarakat desa. Namun, kenyataannya sebagian besar biaya untuk keperluan sekolah harus di tanggung sendiri oleh penduduk desa.

Oleh karena itu, agar Sekolah Rakyat tetap berjalan pemerintah kolonial cenderung lebih memaksa penduduk desa agar menyekolakan anak-anak mereka di Sekolah Rakyat dengan sedikit subsidi. Pada akhirnya, pemerintah kolonial gencar melakukan pendirian Sekolah Rakyat di desa-desa pasca awal pembukaan tahun 1907. Pada tahun 1912 ada 2.500 Sekolah Rakyat dan tahun 1930-an terdapat 9.600 di seluruh Hindia Belanda.

Lama belajar Sekolah Rakyat hanya tiga tahun karena pelajaran yang diberikan hanya bersifat dasar seperti menulis, membaca, dan menghitung. Begitu pula menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Tamatan Sekolah Rakyat tidak bisa meneruskan ke jenjang selanjutnya karena pelajaran yang diberikan tidak setara dengan Sekolah dasar lainnya.

Oleh sebab itu, jika mereka ingin melanjutkan ke jenjang selanjutnya seperi MULO maka harus masuk dulu ke sekolah sambungan seperti vervolgschool ataupun schakelschool. Hal itu dimaksudkan agar para siswa mendapat pelajaran yang sama dengan sekolah rendah lainnya seperti HIS, ELS, dan sebagainya.

4. HIS (Hollandsche-Inlandsche School)

potret murid HIS di Yogyakarta tahun 1935 (digitalcollections.universiteitleiden.nl/KITLV)

HIS secara resmi dibuka tahun 1914 yang juga merupakan perubahan dari sekolah ongko siji. Sekolah ini awalnya hanya diperuntukkan bagi kalangan elit bumiputera, namun lambat laut juga menerima siswa dari kalangan Eropa dan Timur jauh dengan jumlah yang sangat sedikit. Sejak awal berdiri bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda, sehingga mata pelajaran yang paling banyak diberikan adalah bahasa Belanda. 

Ada tujuh tingkatan kelas untuk sekolah ini yaitu kelas 1-7 dengan sebelas mata pelajaran yang diajarkan. Hal itu meliputi bahasa belanda, bahasa daerah, matematika, menggambar, bernyanyi, olahraga, ilmu alam, geografi, bahasa Melayu, dan sejarah.

5. ELS (Europesche Lagere School)

potret ELS di Ambon tahun 1925 (digitalcollections.universiteitleiden.nl/KITLV)

Secara umum sekolah ini telah dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1818 dengan nama Lagere Scholen Voor Europanen. Mulanya sekolah ini dimaksud untuk anak-anak penduduk Belanda kalangan menengah ke bawah dengan kualitas sistem sekolah yang masih rendah. Sementara anak kalangan atas dikirim orang tuanya ke Belanda atau ke sekolah swasta untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Akhirnya, pemerintah membuka sekolah dasar khusus anak Eropa dengan biaya yang sangat tinggi pada tahun 1833 dengan nama Eerste Europesche Lagere School. Mereka yang tidak sanggup membayar biayanya, maka tidak bisa masuk ke sekolah ini.

Kemudian pada tahun 1902 baru diganti dengan nama Europeesche Lagere School (ELS). Dilihat dari namanya saja sudah bisa kita ketahui bahwa sekolah ini memang hanya diperuntukkan bagi kalangan Eropa (Belanda) dan yang disetarakan dengan penduduk Eropa. Kalaupun ada anak bumiputera yang masuk di sekolah ini, jumlahnya sangat sedikit.

Hal itu disebabkan sistem seleksi masuk antara anak Eropa dan bumiputera berbeda. Salah satu persyaratannya, saat mendaftar usia peserta didik tidak boleh lebih dari 7 tahun. Satu hal yang terpenting bagi anak bumiputera yang mau masuk ke ELS yakni harus bisa bahasa pengantarnya, bahasa Belanda. Selain itu, biayanya juga lebih mahal jika dibandingkan dengan dari kalangan Eropa sendiri.

Adapun lama belajar sekolah di ELS adalah 7 tahun. Mata pelajaran yang diajarkan dalam sekolah ELS meliputi membaca, menulis, berhitung, dasar-dasar bahasa Belanda, sejarah negeri Belanda dan Hindia Belanda, ilmu bumi, ilmu alam, bernyanyi, dan latihan menulis halus. Ada pula mata pelajaran lanjutan yang diajarkan di ELS yaitu dasar-dasar bahasa Perancis, dasar-dasar bahasa Inggris, bahasa Belanda lanjutan, ilmu alam, sejarah umum, dan menulis halus, dan pendidikan jasmani atau gimnastik.

6. HCS (Hollandsche-Chineesche School)

potret siswa kelas 6 HCS di Madiun, Jawa Timur (commons.m.wikimedia.org/Tropen Museum)

Atas dasar desakan penduduk China di Hindia-Belanda yang menginginkan pendidikan merata, pemerintah kolonial terdorong untuk mendirikan sekolah dasar khusus yang diberi nama Hollandsche Chineesche School pada tahun 1908.

Mengutip buku Peta Jalan Pendidian Indonesia karya tim UNY, Mulanya anak-anak China diperkenankan masuk ke HIS ataupun ELS dan bahkan ke sekolah swasta yang bernama THHK (Tiong Hoa Hwee Kwan). Kurikulum dan bahasa pengantarnya pun sama dengan ELS, sehingga ini benar-benar sekolah model Barat.

Pendirian sekolah ini bukan karena tanpa pertimbangan sama sekali selain dorongan masyarakat China tersebut. Namun, pemerintah sebenarnya mencegah agar mereka tetap royal dan bisa diajak kerjasama. Apalagi banyak diantara mereka yang memasukkan anaknya ke sekolah THHK yang basis China totoknya begitu banyak. Belum lagi di THHK mereka diajarkan nilai-nilai perjuangan dan nasionalisme yang dapat mengancam pemerintah kolonial.

Demikian beberapa macam sekolah dasar yang ada di era Hindia Belanda. Banyak sekali perbedaan mendasar antara satu sekolah dengan yang lainnya, meskipun tujuan akhirnya sama yakni untuk mencetak pegawai atau karyawan yang dibutuhkan pemerintah kolonial. Namun, yang pasti diskriminasi sosial, ekonomi, apalagi ras di permukaan sistem sekolah maupun dalam pembelajaran itu sendiri selalu ada.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorKhus nul