Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
potret kru film yang sedang mengoperasikan kamera profesional di lokasi luar ruangan
potret kru film yang sedang mengoperasikan kamera profesional di lokasi luar ruangan (pexels.com/Lê Minh)

Intinya sih...

  • Industri fesyen cepat dan tekstil menjadi penyumbang deforestasi dan polusi air

  • Jejak karbon industri digital besar, dari pusat data hingga limbah elektronik

  • Sektor pertanian, peternakan, energi fosil, dan produksi film blockbuster juga meninggalkan dampak lingkungan yang signifikan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Selama ini, banyak dari kita mungkin langsung menunjuk industri kertas sebagai penjahat utama perusakan hutan. Kampanye "go paperless" atau "pikirkan lingkungan sebelum mencetak" terdengar begitu akrab di telinga, seolah-olah beralih ke digital adalah satu-satunya jawaban untuk menyelamatkan pohon. Setiap kali melihat selembar kertas, bayangan pohon-pohon yang tumbang langsung muncul di benak kita, menimbulkan rasa bersalah.

Namun, di tengah fokus kita pada kertas, ada kenyataan yang lebih besar dan sering kali luput dari perhatian. Beberapa industri raksasa, yang produknya kita nikmati setiap hari, ternyata memiliki jejak kerusakan lingkungan yang sama berbahayanya dan tersembunyi. Ironisnya, industri-industri ini bekerja secara 'senyap', tanpa disadari menjadi penyebab utama deforestasi, polusi air, hingga krisis iklim yang dampaknya berkali-kali lipat lebih parah.

1. Industri fesyen cepat ternyata haus akan kayu dan air bersih

ilustrasi baju dalam lemari (pexels.com/Rachel Claire)

Baju yang kita kenakan, terutama yang berasal dari jenama fesyen cepat (fast fashion), sering kali menyimpan cerita kelam tentang hutan. Banyak bahan pakaian yang terasa lembut dan sejuk di kulit, seperti rayon atau viscose, ternyata berasal dari pulp kayu atau bubur kayu. Dilansir Forest Stewardship Council (FSC), diperkirakan lebih dari 120 juta pohon ditebang setiap tahunnya untuk diubah menjadi kain jenis ini. Bahkan, organisasi lingkungan Canopy memperkirakan jumlahnya bisa mencapai 300 juta pohon per tahun.

Proses ini sering kali tidak berkelanjutan, di mana pulp kayu diambil dari hutan-hutan purba dan terancam punah yang menjadi rumah bagi satwa liar seperti orangutan. Selain itu, kapas yang menjadi bahan utama sebagian besar tekstil juga menjadi pendorong utama deforestasi. Dilansir Good On You, pembukaan lahan besar-besaran untuk perkebunan kapas monokultur, seperti yang terjadi di wilayah Cerrado, Brasil, telah menghancurkan area dengan keanekaragaman hayati tinggi. Belum lagi, industri tekstil dan pewarnaan merupakan salah satu pencemar air terbesar di dunia, melepaskan limbah kimia beracun ke sungai-sungai.

2. Jejak karbon industri digital ternyata tak seramah lingkungan yang kita kira

ilustrasi data center (pexels.com/panumas nikhomkhai)

Ajakan untuk beralih ke digital demi menyelamatkan pohon terdengar sangat mulia, tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Di balik kenyamanan email, media sosial, dan layanan streaming, ada jejak lingkungan yang sangat besar. Semua data digital itu disimpan dalam pusat data (data center) raksasa yang membutuhkan pasokan listrik dalam jumlah masif untuk beroperasi dan tetap dingin selama 24 jam sehari. Greenpeace bahkan pernah menyoroti bahwa konsumsi listrik dari pusat data global sangatlah masif, bahkan menyaingi total permintaan listrik gabungan dari beberapa negara maju.

Listrik ini sebagian besar masih bersumber dari energi tak terbarukan. Di banyak negara, pusat data ditenagai oleh listrik dari penambangan batu bara. Metode penambangan seperti mountaintop removal atau peledakan puncak gunung tidak hanya meratakan lanskap alam dan menghancurkan hutan, tetapi juga mencemari aliran sungai di sekitarnya. Ditambah lagi, ada masalah limbah elektronik atau e-waste dari gawai yang kita gunakan. Limbah ini mengandung logam berat berbahaya seperti timbal dan merkuri yang dapat meracuni tanah dan air jika tidak dikelola dengan benar.

3. Sektor pertanian dan peternakan modern menjadi kontributor utama emisi gas rumah kaca

ilustrasi deforestasi (pexels.com/Pok Rie)

Apa yang kita makan sehari-hari ternyata memiliki dampak yang luar biasa terhadap planet ini. Sektor pertanian dan peternakan modern adalah penyebab utama deforestasi global. Dilansir Lythouse, sekitar 80% penggundulan hutan di seluruh dunia dilakukan untuk membuka lahan bagi perkebunan tanaman pangan dan peternakan. Hutan hujan Amazon, misalnya, terus ditebangi untuk membuka lahan bagi peternakan sapi dan perkebunan kedelai yang sebagian besar digunakan sebagai pakan ternak.

Selain merusak hutan, industri peternakan, terutama sapi dan produk susu, adalah sumber emisi gas metana (CH₄) yang signifikan. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), gas metana yang berasal dari sendawa ternak dan pengelolaan kotorannya merupakan gas rumah kaca yang daya rusaknya puluhan kali lebih kuat daripada karbon dioksida (CO₂). Penggunaan pupuk kimia dalam pertanian modern juga melepaskan dinitrogen oksida (N₂O), gas rumah kaca lain yang sangat kuat, serta mencemari sumber-sumber air.

4. Industri energi fosil melepaskan polutan berbahaya ke udara dan air

ilustrasi platform pengeboran minyak (pexels.com/Jan-Rune Smenes Reite)

Mungkin ini bukan lagi rahasia, tetapi skala kerusakannya perlu terus diingat. Industri energi, khususnya yang berbasis pada minyak dan gas, adalah tulang punggung dari hampir semua aktivitas manusia modern, tetapi juga menjadi penyumbang polusi terbesar. Mengacu pada data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), industri yang bergantung pada bahan bakar fosil bertanggung jawab atas porsi terbesar emisi karbon dioksida (CO₂) global. Proses ekstraksi, transportasi, hingga pembakarannya melepaskan berbagai polutan berbahaya.

Tumpahan minyak di laut adalah bencana ekologis yang dapat menghancurkan ekosistem pesisir dan lautan selama puluhan tahun. Selain CO₂, pembakaran bahan bakar fosil juga melepaskan sulfur dioksida (SO₂) dan nitrogen oksida (NOx) ke atmosfer. Senyawa-senyawa inilah yang menjadi penyebab utama hujan asam, sebuah fenomena yang dapat merusak hutan, membunuh kehidupan di danau, dan mengikis bangunan. Dampaknya terasa langsung pada kualitas udara yang kita hirup dan kesehatan sistem pernapasan kita.

5. Produksi film blockbuster meninggalkan jejak karbon yang sangat besar

potret kru film yang sedang mengoperasikan kamera profesional di lokasi luar ruangan (pexels.com/Lê Minh)

Siapa sangka di balik gemerlap layar perak, ada jejak lingkungan yang tersembunyi? Industri perfilman, terutama produksi film-film blockbuster, ternyata sangat boros sumber daya. Dilansir Convention on Biological Diversity, pembangunan satu panggung suara (soundstage) saja dapat memicu dampak deforestasi hingga setara 4.000 hektar. Hal ini disebabkan oleh rantai pasok penggunaan kayu lapis ringan bernama 'lauan' yang sering kali dipanen secara tidak berkelanjutan dari hutan hujan tropis.

Selain itu, jejak karbon produksi film juga berasal dari transportasi para pemain dan kru ke lokasi-lokasi eksotis di seluruh dunia, penggunaan generator diesel besar untuk daya di lokasi syuting, dan limbah masif dari properti dan set yang hanya sekali pakai. Beberapa produksi film besar bahkan pernah dituduh merusak lanskap alam yang rapuh dan meninggalkan limbah kimia berbahaya di lokasi syuting. Meskipun sudah ada gerakan menuju produksi film yang lebih hijau, skala industri ini secara keseluruhan masih meninggalkan dampak lingkungan yang signifikan.

Sebagai penutup, memahami bahwa bukan hanya kertas yang menjadi ancaman bagi lingkungan adalah langkah awal yang penting. Dengan mengetahui dampak tersembunyi dari industri lain, kita bisa menjadi konsumen yang lebih cerdas dan kritis dalam setiap pilihan yang kita buat setiap hari.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team