Ilustrasi bom. (IDN Times/Mardya Shakti)
Sempat menghilang beberapa saat, bom bunuh diri besar terjadi pasca Perang Dunia II (PD2), pada Desember 1981, komplotan teroris al-Dawa mengebom Kedutaan Besar Irak di Beirut, Lebanon. Pelaku membawa mobil berisi 100 kilogram bahan peledak, lalu meledakannya di gedung Kedubes Irak. Aksi tersebut menewaskan 61 jiwa dan melukai 110.
Dua tahun kemudian, kasus bom bunuh diri kembali terjadi, tepatnya pada April 1983. Pada April, sebuah mobil membawa 910 kilogram bahan peledak dan meledakkannya di gedung Kedubes AS di Beirut, Lebanon. Insiden tersebut menewaskan pelaku, 63 jiwa, dan melukai 120. Mayoritas korban adalah anggota kedubes, CIA, hingga tentara AS.
Enam bulan berselang, pada Oktober 1983, bom bunuh diri kembali meledak di Beirut, Lebanon. Dua truk pembawa bom bunuh diri meledakkan barak tempat tinggal tentara AS dan Prancis semasa Perang Saudara Lebanon (1975-1990). Insiden tersebut merenggut 307 nyawa (241 personel militer AS, 58 personel militer Prancis, 6 warga sipil, dan 2 pelaku bom bunuh diri).
Dua insiden pengeboman tersebut kemudian dikaitkan dengan kelompok militan Syiah, Hizbullah (حزب الله), yang bertanggung jawab juga atas sekitar 20 insiden terorisme menyasar militer Lebanon dan Israel. Saat bom mobil sudah menjadi hal biasa di Lebanon, insiden tersebut memperkenalkan aspek "bom bunuh diri" sebagai metode terorisme baru.