Pemandangan dari atas Kawah Sikidang (IDN Times/Abraham Herdyanto)
Menurut pengamatan Aziz, tragedi ini terjadi akibat belum adanya edukasi akan bahaya letusan gunung berapi saat itu.
“Sebelum tragedi Kawah Sinila, kejadian terakhir terjadi pada 1928. Jauh waktunya dari kemunculan penduduk Kepucukan.”
Aziz menjelaskan lebih lanjut bagaimana kemunculan gas beracun itu. Berdasarkan informasi Aziz, letusan gas keluar dari celah-celah yang ada di permukaan tanah. Saat mengalami tekanan dan panas yang tinggi, gas tersebut akan mencari celah untuk keluar. Hal ini yang menyebabkan keluarnya gas beracun.
“Untuk sekarang, kita bisa mengetahui titik-titik mana saja yang celah permukaannya lemah dan kawah-kawah itu salah satunya.”
Kondisi Dieng saat berkabut di petang hari (IDN Times/Abraham Herdyanto)
Seperti air, gas mengalir dari atas ke bawah. Saat berada di ketinggian, gas-gas beracun itu tentu akan menuruni lereng bukit. Dalam kasus tragedi Kawah Sinila, lembah menjebak dan mengumpulkan gas tersebut. Belum lagi tak ada sinar matahari yang sebenarnya mampu membuaikan dan menetralkan gas beracun tersebut.
Inilah alasan mengapa Dieng tak memiliki wisata malam. Tujuannya tak lain untuk menghindari jatuhnya korban jiwa akibat keracunan gas. “Sangat susah membedakan mana yang kabut, mana yang gas beracun. Secara warna pun tak ada perbedaan,” ujar anggota BMKG tersebut.