Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi Suku Ainu (japan.travel)
ilustrasi Suku Ainu (japan.travel)

Suku Ainu adalah penduduk asli dari wilayah utara Kepulauan Jepang, terutama Hokkaido. Selain hidup di pulau yang cukup populer karena seafood-nya, Suku Ainu juga menetap di utara Honshu dan Pulau Sakhalin di Rusia.

Begitu kaya akan tradisi unik, suku dengan estimasi populasi lebih dari 24 ribu ini harus melalui beragam rintangan sebelum akhirnya diakui oleh Jepang sebagai penduduk asli. Meskipun sudah hidup di Jepang selama berabad-abad, pemerintah Jepang baru secara resmi mengakui eksistensi Suku Ainu sebagai warga asli pada 2019.

Melansir situs Ainu Upopoy, Minority Rights, Akarenga, dan The Foundation for Ainu Culture, berikut adalah enam fakta mengenai Suku Ainu.

1. Melalui masa lalu yang kelam

ilustrasi Suku Ainu (metropolisjapan.com)

Apabila dilihat dari masa lalunya, Suku Ainu tidak jauh berbeda dengan penduduk asli di negara yang lain. Ya, sama-sama menghadapi kolonialisme.

Sudah melakukan perlawanan, tapi mau bagaimana lagi? Pihak yang melakukan kolonialisme punya teknologi yang lebih modern. Alhasil, Suku Ainu mengalami kekalahan. Sistem hukum tradisional dihancurkan, tanah adat dan kepemilikan sumber daya tidak diakui.

Sejak saat itu, Suku Ainu melalui banyak sekali tantangan. Berikut rangkumannya.

  • Abad ke-14, Suku Ainu mendapatkan tekanan dari Jepang yang mengontrol Hokkaido Selatan. 
  • Populasi Suku Ainu menurun di antara tahun 1822 sampai 1854 karena penyakit dan perlakuan buruk oleh pihak Jepang.
  • Masyarakat Ainu hampir punah karena kebijakan pemerintah Jepang untuk menghapus hak tanah Suku Ainu, sehingga warga Jepang dapat berpindah ke Hokkaido.
  • Pelarangan penggunaan Bahasa Ainu di sekolah dan tempat lainnya, melarang praktik budaya Ainu seperti memburu dan memancing ikan.
  • Suku Ainu dipaksa untuk melakukan asimilasi.

Perubahan perspektif negatif ini perlahan-lahan menjadi positif, tepatnya pada 1946 yang menjadi titik awal usaha pelestarian suku dan kultur Ainu. Tahun 1991, pemerintah Jepang mengakui bahwa Suku Ainu adalah suku minoritas. Akan tetapi, mereka belum mengakui status suku tersebut sebagai penduduk asli pulau Jepang.

Setelah sejarah yang panjang baik positif maupun negatif, Suku Ainu yang sempat disebut sebagai kelompok etnis yang hampir punah diakui oleh pemerintah Jepang sebagai penduduk asli.

2. Sepenggal cerita kehidupan Suku Ainu

ilustrasi rumah Suku Ainu, cise (kai-hokkaido.com)

Masyarakat Ainu memiliki jalan hidup, way of life yang amat berbeda dari orang Jepang. Tentunya, hal ini juga berlaku untuk budaya dan agama.

Untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga, Suku Ainu umumnya berburu beruang dan rusa di pegunungan. Di laut, mereka juga memburu anjing laut dan ikan todak. Di sungai, mereka memancing ikan salmon. Setiap aktivitas ini dibantu dengan peralatan yang cocok, seperti panah, jebakan, marek (tombak), kite (harpun), jaring, dan makiri (pisau). Selain berburu, masyarakat Ainu juga mengumpulkan sayuran dan bercocok tanam. Cara kehidupan ini berubah mengikuti perkembangan zaman.

Keluarga Ainu tinggal di sebuah desa yang disebut kotan yang terdiri dari sekitar sepuluh rumah, bisa lebih dan bisa kurang. Kotan dipilih dengan catatan tempat tersebut dapat melindungi mereka dari bencana alam.

Rumah dalam kotan pun disebut cise. Konstruksi rumah ini tidak memerlukan bahan bangunan yang mewah. Suku Ainu memanfaatkan bahan-bahan dari alam untuk dijadikan materi konstruksi cise. Dalam cise, laki-laki bertugas untuk membuat peralatan dan merawat perlengkapan memburu, sedangkan perempuan memiliki kewajiban untuk membuat pakaian dan menyiapkan makanan.

Bicara soal pembagian tugas di luar cise, laki-laki harus memburu, memancing ikan, dan melakukan apapun yang membutuhkan tenaga fisik. Anak-anak dan perempuan juga punya peran penting, yakni mengumpulkan sayuran dan menenun.

3. Kesetiaan terhadap budaya tak akan padam

ilustrasi suku Ainu (bbc.com)

Perlakuan buruk, diskriminasi, prasangka, dan penolakan yang dialami oleh Suku Ainu memang berat. Namun, mereka tidak pernah menyerah. Semangat dan kesetiaan mereka terhadap budaya tidak akan padam. Suku Ainu tetap berusaha untuk mewariskan kultur pada generasi berikutnya.

Sebagai contoh, bahasa Ainu yang mendapatkan status critically endangered atau kritis oleh UNESCO tetap dipertahankan dan diwariskan. Bahasa ini berasal dari Hokkaido, Sakhalin, dan pulau-pulau Kuril. Secara garis besar, bahasa ini berbeda dengan Jepang meski ada persamaan dari segi urutan kata. Kemudian, bahasa verbal tersebut ditranskripsikan dengan huruf Latin atau sistem penulisan Jepang, katakana ditambah beberapa karakter khusus.

Terdapat banyak sekali budaya Ainu yang mampu membedakan diri mereka dengan suku lainnya, baik budaya yang masih dipraktikkan maupun yang tidak (karena perkembangan zaman).

Contoh budaya Ainu adalah pemberian tato pada bagian mulut dan pergelangan tangan perempuan setelah mereka mengalami pubertas. Di sisi lain, laki-laki tidak mencukur rambut setelah mencapai usia tertentu. Laki-laki ataupun perempuan umumnya mengenakan anting.

Budaya Ainu yang tidak kalah uniknya adalah penamaan anak. Mengutip kanal YouTube TopTenz, anak-anak dalam budaya tradisional diberikan nama sementara. Nama ini digunakan untuk menangkal malapetaka dan kesehatan yang buruk.

Jadi, pemberian nama dengan arti buruk memiliki tujuan yang baik. Poyshi yang berarti feses kecil dan Shion yang artinya feses tua menjadi sedikit contoh. Saat berusia 2-3 tahun, barulah anak-anak tersebut diberi nama baru.

4. Hidup berdampingan dengan para dewa

ilustrasi ritual Suku Ainu (global.hokudai.ac.jp)

Kepercayaan Suku Ainu menjadi salah satu aspek dalam kultur tersebut yang menarik. Suku Ainu percaya bahwa hewan, tumbuhan, tsunami, gempa, pandemik, dan fenomena lainnya memiliki ramat (roh). Apa pun yang memiliki peran penting dan punya pengaruh kuat terhadap kehidupan manusia disebut kamuy (roh-dewa).

Ada kamuy yang dianggap membawa berkah, seperti hewan yang 'menyediakan' bulu untuk pakaian dan daging untuk makanan. Api juga disebut sebagai kamuy karena memberikan kehangatan, cahaya, dan digunakan pula untuk memasak bahan makanan mentah.

Ada juga kamuy yang justru membawa malapetaka. Kamuy ini membawa penyakit seperti cacar. Meskipun begitu, masyarakat Ainu harus tetap memberi hormatnya pada kamuy itu.

Sebagai suku yang religius, masyarakat Ainu sering berdoa. Terdapat berbagai ritual yang dilakukan, seperti ritual mengembalikan roh dewa ke tempat asal mereka, ritual menyambut salmon, ritual menangkal kamuy yang menyebabkan epidemik, dan ritual untuk para leluhur. Dari contoh tersebut, ritual yang paling umum diketahui adalah pengembalian roh dewa.

Pengembalian kamuy beruang ke tempat asal mereka menjadi salah satu contoh. Beruang dipercaya membawa banyak berkah seperti bulu dan daging. Jika beruang ini memiliki anak, masyarakat Ainu akan menangkap anak beruang itu secara hidup-hidup, lalu dirawat di desa selama dua tahun. Setelah waktu tersebut berlalu, melalui iyomante atau festival beruang Ainu, roh dan jiwa beruang dikembalikan ke tempat asal. Upacara ini diikuti pesta besar.

5. Dilestarikan Suku Ainu dan Museum Upopoy

ilustrasi gedung Museum Upopoy (uu-hokkaido.com)

Suku Ainu memiliki dedikasi yang tinggi ketika bicara soal pewarisan kultur dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian, anak-anak muda pun juga berpartisipasi dalam memastikan budaya ini tidak akan mati. Buku, puisi, dan edukasi dari mulut ke mulut menjadi beragam cara melestarikan keunikan Ainu.

Salah satu budaya Ainu, yaitu tarian, tidak hanya dipertahankan, tetapi juga ditunjukkan kepada dunia luas. Pertunjukan internasional memperkenalkan budaya penduduk asli Jepang pada orang Amerika Serikat, Britania Raya, Finlandia, dan lain-lain.

Selain pewarisan langsung dan pertunjukan tarian, budaya Ainu juga mengalami proses restorasi, dari kultur spiritual sampai gaya hidup. Pemulihan dan pelestarian ini juga dibantu dengan keberadaan Upopoy National Ainu Museum and Park di Shiraoi, Hokkaido. Melansir Lifegate, tujuan pembukaan museum tersebut adalah mempromosikan pengetahuan dan pemahaman tentang masyarakat Ainu.

6. Diabadikan pula lewat manga dan anime

Golden Kamuy menjadi salah satu seri anime dan manga yang unik. Manga karya Satoru Noda yang pertama kali rilis pada 2014 diikuti adaptasi anime pada tahun 2018 tidak sekadar berisi aksi militer yang apik, tetapi juga informasi edukatif terkait budaya Ainu.

Dalam pembuatan komik ini, Satoru Noda dibantu oleh Hiroshi Nakagawa, konsultan bahasa Ainu sekaligus profesor dari Chiba University. Meskipun terdapat unsur fiksi dalam komik ini, penjelasan terkait Ainu dan kulturnya dapat dikatakan akurat. Kontribusinya terhadap pelestarian budaya menjadi penyebab manga petualangan dengan tokoh utama Saichi Sugimoto dan Asirpa memenangkan penghargaan Japan Media Arts Festival ke-24, khususnya dalam kategori 'dampak sosial'.

Lebih lanjut, berdasarkan cuitan yang diunggah akun resmi Golden Kamuy, diketahui bahwa manga tersebut menjalankan kolaborasi dengan Museum Upopoy. Ekshibisi ini memperkenalkan budaya Ainu dan penduduk asli seperti masyarakat Nivkh dan Tungusic Uilta. Pameran ini juga menampilkan koleksi emas Hokkaido, Perang Rusia-Jepang, budaya kota-kota di manga seperti Otaru, juga latar belakang sejarah di balik Golden Kamuy.

Suku Ainu dan usahanya dalam mewariskan dan melestarikan budayanya adalah sesuatu yang dapat dihormati. Kalau kamu ingin belajar lebih banyak tentang Suku Ainu, kamu dapat menonton video yang diunggah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Kamu juga bisa mengakses berbagai situs yang sudah disebutkan di awal artikel. Dengan ini, Suku Ainu semakin dikenal, dan harapannya perubahan positif seperti ini pun juga terjadi kepada suku minoritas yang lain.

Editorial Team