Ilustrasi gajah sumatra (elephas maximus sumatranus). (IDN Times/Prayugo Utomo)
Mereka menemukan bahwa Choerolphontidae tampaknya hidup di lingkungan yang relatif tertutup seperti hutan, sementara Amebelodontidae berkembang di habitat yang lebih terbuka, seperti padang rumput. Untuk Gomphotheriida tampaknya hidup di habitat yang berada di antara keduanya.
Para ilmuwan menggabungkan temuan ini dengan simulasi matematis dari gerakan rahang ketiga spesies yang punah tersebut.
“Cherolophodon hidup di hutan lebat, jadi ada banyak tumbuhan yang memiliki cabang memanjang secara horizontal,” kata rekan penulis studi Shi-Qi Wang.
Rahang mereka cocok untuk memberikan tekanan ke atas dan ke bawah, bukan ke depan atau ke belakang dan secara efisien memotong dedaunan secara horizontal. Para peneliti berpendapat bahwa belalai mereka relatif primitif dan kikuk.
Namun, rahang Gomphotheriida dan Amebelodontidae, yang hidup di habitat terbuka, lebih beradaptasi untuk memotong tanaman yang tumbuh vertikal seperti tumbuhan bertangkai lunak dan rerumputan. Area hidung pada tengkorak mereka tampak lebih mirip dengan gajah modern, menunjukkan bahwa belalai mampu melakukan gerakan melingkar atau menggenggam yang dapat membantu membawa makanan langsung ke mulut.
“Kita tahu bahwa seluruh lingkungan paleo berubah, dari lingkungan yang hangat dan lembab menjadi lingkungan yang lebih dingin, kering, dan terbuka,” kata Li.
Pada saat itu, peneliti melihat gajah-gajah purba ini mulai menggunakan belalainya yang panjang untuk mengambil rumput.
Penggembalaan di lahan terbuka ini mungkin telah mendorong evolusi belalai yang kita lihat sekarang. Hal ini juga memberikan petunjuk mengapa hewan penghuni hutan seperti tapir memiliki belalai yang relatif lemah dibandingkan belalai gajah.
“Kami menemukan mengapa gajah awal mulai memiliki belalai yang begitu cerdas. Belalai mereka menjadi lebih kuat dan lebih fleksibel, hingga akhirnya, mereka mulai kehilangan rahang bawah yang panjang,” kata Wang.