Dilansir Science Alert!, untuk mereka yang berubah aksennya, mungkin cara bicara mereka mungkin bukan elemen penting dalam identitas mereka. Atau, identitas mereka yang tertekan oleh kelompok pembicara di sekitar mereka.
Menariknya, sebelum kita dilahirkan, kita sebenarnya sudah terpapar oleh berbagai pola bicara di lingkungan sekitar kita. Bahkan, sebuah studi di Eropa pada 2009 yang melibatkan berbagai bayi baru lahir menemukan ternyata melacak aspek nada yang spesifik dengan gaya bicara lingkungannya bisa mulai dari tangisan si kecil.
Agar kita bisa memenuhi kebutuhan kita, kita memang diharuskan untuk menyesuaikan diri. Kita bersuara mirip dengan mereka yang merawat kita, dan seiring perkembangan kemampuan bicara, kita memiliki pola bicara yang mirip dengan lingkungan sekitar kita.
Saat kita keluar jadi anggota masyarakat, kita berbaur dengan orang-orang di luar "zona nyaman" dan pola bicara yang lebih beragam. Hasilnya, aksen dari kecil tergerus agar kita bisa masuk ke circle itu. Tidak jarang, orang tua yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri justru "disekolahkan" bahasa asing oleh anaknya yang terlebih dulu mahir.
"Ah, tetapi aksenku gak berubah, kok!"
Nah, bagi mereka yang aksennya tetap, ini kemungkinan besar dikarenakan mereka justru merasa aman dengan identitas mereka, dan aksen tersebut adalah bagian dari identitas. Sadar atau tidak, jika kamu amat suka atau bangga dengan satu aksen (bagi darimu atau dari orang lain), kamu tak akan mengubahnya.