Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi baju dalam lemari
ilustrasi baju dalam lemari (pexels.com/Rachel Claire)

Intinya sih...

  • Pakaianmu mungkin terbuat dari pohon yang ditebang

    • Bahan seperti rayon atau viscose terbuat dari pulp kayu, menyebabkan deforestasi

  • Permintaan industri fast fashion membuat lebih dari 200 juta pohon ditebang setiap tahun

  • 30% kayu untuk produksi berasal dari hutan purba dan terancam punah

  • Proses kimia mengubah kayu menjadi kain sangat mencemari lingkungan

    • Karbon disulfida digunakan dalam pembuatan kain, berbahaya bagi kesehatan manusia

  • Paparan karbon disulfida dapat menyebabkan penyakit serius bagi pekerja dan masyarakat sekitar

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Koleksi baju baru yang mejeng di etalase mal atau muncul di linimasa media sosial memang selalu menggoda iman. Apalagi dengan harga yang sangat terjangkau, kita bisa dengan mudah gonta-ganti gaya OOTD (outfit of the day) setiap minggu. Industri fast fashion, atau mode cepat, sengaja menciptakan siklus tren yang singkat agar kita terus merasa perlu membeli pakaian baru. Kemudahan inilah yang membuat lemari kita penuh, tetapi tanpa sadar, ada harga mahal yang harus dibayar oleh planet ini.

Di balik kain yang lembut dan model yang kekinian, ada cerita kelam tentang hutan-hutan yang ditebang dan ekosistem yang hancur. Banyak dari kita tidak menyadari bahwa pakaian yang kita kenakan sehari-hari bisa jadi berasal dari pembukaan lahan hutan belantara, termasuk hutan-hutan purba yang sangat penting bagi keseimbangan bumi. Industri mode yang bergerak begitu cepat ini ternyata meninggalkan jejak kerusakan yang dalam dan permanen pada paru-paru dunia kita.

1. Pakaianmu mungkin terbuat dari pohon yang ditebang

ilustrasi deforestasi (pexels.com/Pok Rie)

Mungkin kamu familier dengan bahan seperti rayon atau viscose yang terasa adem dan jatuh di badan, mirip seperti sutra tapi harganya jauh lebih murah. Bahan-bahan ini, bersama dengan modal dan lyocell, termasuk dalam kelompok kain selulosa buatan (man-made cellulosic fibres). Dilansir dari Earthday.org, kain jenis ini dibuat dari pulp atau bubur kayu, yang berarti bahan bakunya adalah pohon. Proses pembuatannya diawali dengan menebang pohon, lalu kayu tersebut diolah hingga menjadi serat kain.

Masalahnya, permintaan yang masif dari industri fast fashion membuat kebutuhan akan bubur kayu meroket. Menurut Earthday.org, setiap tahun lebih dari 200 juta pohon ditebang hanya untuk diubah menjadi kain. Lebih parahnya lagi, seperti yang dilaporkan oleh Good on You, sekitar 30 persen kayu untuk produksi viscose berasal dari hutan-hutan purba dan terancam punah. Artinya, hutan-hutan di Amazon, Kanada, bahkan Indonesia yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati seperti orangutan, ikut terancam demi memenuhi hasrat dunia akan pakaian murah.

2. Proses kimia mengubah kayu menjadi kain sangat mencemari lingkungan

ilustrasi sungai kotor (vecteezy.com/Aleksey Matrenin)

Perjalanan sebatang pohon untuk menjadi selembar kain bukanlah proses yang alami. Setelah ditebang, kayu harus melewati serangkaian proses kimia yang intensif untuk diubah menjadi bubur selulosa. Salah satu bahan kimia utama yang digunakan dalam pembuatan viscose rayon adalah karbon disulfida, zat yang sangat beracun. Bahan kimia berbahaya ini sering kali tidak dikelola dengan baik dan akhirnya bocor, mencemari udara serta saluran air di sekitar pabrik.

Dilansir Earthday.org, paparan karbon disulfida sangat berbahaya bagi kesehatan. Zat ini dapat menyebabkan berbagai masalah serius, mulai dari penyakit jantung, cacat lahir, hingga kanker bagi para pekerja pabrik dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Para pekerja sering kali terpaksa menanggung risiko kesehatan yang parah tanpa perlindungan memadai demi mengejar target produksi yang gila-gilaan. Jadi, selain merusak hutan, proses produksi kain ini juga mengorbankan kesehatan manusia.

3. Jejak kerusakan hutan tersembunyi di rantai pasok yang rumit

ilustrasi perkebunan kapas (pixabay.com/Jim Black)

Banyak merek fast fashion populer yang kita kenakan ternyata memiliki hubungan dengan praktik deforestasi, baik melalui penebangan kayu maupun pembukaan lahan perkebunan. Rantai pasok mereka yang sangat panjang dan rumit sering kali menyembunyikan asal-usul bahan baku yang kelam. Bahkan, kerusakan hutan tidak hanya disebabkan oleh bahan rayon.

Sebuah investigasi yang dilansir dari The CSR Universe mengungkap bahwa rantai pasok kapas juga bermasalah. Laporan tersebut berhasil melacak hubungan antara pemasok kapas untuk beberapa peritel mode global dengan praktik deforestasi ilegal dan perampasan lahan di Cerrado, Brazil, sebuah wilayah sabana dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Investigasi ini juga menyoroti adanya konflik lahan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap penduduk lokal demi memperluas lahan perkebunan kapas.

Kompleksitas rantai pasok inilah yang sering menjadi tameng bagi banyak perusahaan untuk lepas tangan dari tanggung jawab. Oleh karena itu, sertifikasi dari lembaga independen menjadi sangat penting. Dilansir Forest Stewardship Council (FSC), label FSC pada sebuah produk dapat menjamin bahwa bahan baku (khususnya yang berbasis kayu/kertas) berasal dari hutan yang dikelola secara bertanggung jawab, menghormati lingkungan, dan melindungi hak-hak masyarakat adat.

4. Ada pilihan bahan yang lebih ramah lingkungan sebagai solusi

ilustrasi pakaian ramah lingkungan (freepik.com/freepik)

Kabar baiknya, tidak semua kain yang terbuat dari kayu itu buruk. Seiring meningkatnya kesadaran konsumen dan tekanan dari berbagai pihak, inovasi di industri tekstil mulai melahirkan alternatif yang lebih ramah lingkungan. Salah satu contoh terbaik adalah TENCEL™ Lyocell. Bahan ini juga terbuat dari bubur kayu, tetapi berasal dari hutan yang dikelola secara lestari dan memiliki sertifikasi.

Keunggulan utama Lyocell, seperti yang dijelaskan oleh Good on You dan Earthday.org, terletak pada proses produksinya yang menggunakan sistem closed-loop atau daur ulang tertutup. Artinya, lebih dari 99 persen bahan pelarut non-toksik yang digunakan untuk melunakkan kayu bisa ditarik kembali dan dipakai ulang, sehingga hampir tidak ada limbah kimia yang dibuang ke lingkungan. Memilih pakaian dengan bahan seperti ini atau yang memiliki sertifikasi jelas seperti FSC adalah langkah kecil yang bisa kita lakukan untuk mendukung industri mode yang lebih hijau.

Sebagai konsumen, kita memegang kekuatan untuk mendorong perubahan. Pilihan kita saat berbelanja dapat mengirimkan pesan yang kuat kepada industri bahwa kita tidak lagi mau berkompromi dengan perusakan lingkungan demi tren sesaat. Mari kita mulai lebih bijak dalam memilih, mengutamakan kualitas daripada kuantitas, dan perlahan-lahan meninggalkan kebiasaan fast fashion yang merusak. Karena pada akhirnya, gaya terbaik adalah gaya yang tidak mengorbankan masa depan planet kita.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team