Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi termenung
ilustrasi termenung (pexels.com/long-ba-mui)

Intinya sih...

  • Dalam banyak masyarakat, perempuan bertanggung jawab atas kebutuhan dasar keluarga. Bencana alam mengganggu peran ini dan memperpanjang proses evakuasi.

  • Fasilitas pengungsian sering tidak mempertimbangkan kesehatan reproduksi perempuan, meningkatkan risiko infeksi dan komplikasi kesehatan.

  • Kerentanan terhadap kekerasan meningkat saat bencana, karena minimnya privasi di tempat pengungsian dan eksploitasi seksual transaksional.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Krisis lingkungan gak hanya mengguncang hewan dan tumbuhan, tetapi juga manusia yang tinggal di dalamnya. Gak semua lapisan masyarakat merasakan dampak yang sama saat bencana alam terjadi. Hal ini dikarenakan struktur sosial yang sudah jauh terbentuk sebelumnya.

Perempuan adalah kelompok yang paling rentan terdampak saat bencana ekologis melanda. Bukan karena kondisi perempuan yang sering dilabeli lemah, tetapi karena struktur sosial yang menempatkan perempuan pada posisi rentan. Lalu, kenapa perempuan menjadi gender yang paling terdampak saat bencana alam atau ekologis terjadi? Berikut penjelasannya.

1. Perempuan menanggung beban domestik lebih besar

ilustrasi dua perempuan (pexels.com/vubui

Dalam banyak masyarakat, pembagian peran gender menempatkan perempuan dalam tanggung jawab yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan dasar. Seperti menyediakan air, mengolah makanan, hingga merawat anak dan lansia. Saat bencana alam terjadi, seluruh peran perempuan akan terganggu. Perempuan harus tetap memastikan keberlangsungan hidup keluarga di kondisi yang terbatas.

Peran pengasuhan yang melekat secara sosial membuat perempuan sulit bergerak cepat saat bencana alam terjadi. Mereka harus mengutamakan keselamatan anak-anak, lansia, atau anggota keluarga yang sakit. Situasi ini memperpanjang proses evakuasi, meningkatkan risiko fisik, dan menempatkan perempuan pada tekanan emosiaonal yang tinggi.

2. Akses kesehatan dan sanitasi yang gak memadai

ilustrasi dua perempuan (pexels.com/ahmed-akacha)

Akses perempuan terhadap layanan kesehatan dan sanitasi jadi salah satu aspek yang sering diabaikan. Fasilitas pengungsian yang dibangun dalam kondisi darurat sering kali gak mempertimbangkan kesehatan reproduksi.

Situasi ini menjadi semakin serius bagi perempuan yang mengalami, menstruasi, hamil, atau sedang merawat bayi. Gak adanya fasilitas terhadap sanitasi dan kebutuhan pribadi perempuan seperti pembalut, dapat menimbulkan risiko infeksi dan komplikasi kesehatan yang serius.

3. Perempuan rentan terkena kekerasan berbasis gender

ilustrasi perempuan mengangkat tangan (unsplash.com/nadineshaabana)

Situasi darurat bencana mampu meningkatkan kerentanan perempuan terhadap kekerasan berbasis gender. Kekacauan yang melanda dan berkurangnya pengawasan publik menciptakan peluang bagi pelaku kejahatan untuk bertindak tanpa takut disanksi. Ditambah, kondisi ini sering kali memaksa perempuan untuk tinggal berdesakan di tempat pengungsian yang minim privasi.

Kerentanan ini diperburuk dengan gak layaknya desain dan manajemen pengungsian. Fasilitas darurat sering kali gak dibangun berdasarkan gender. Contohnya minimnya penerangan pada akses fasilitas utama atau lokasi toilet yang jauh dari area tidur. Hal ini membuat perempuan berisiko tinggi mengalami pelecehan, bahkan kekerasan seksual.

Lebih jauh lagi, ketergantungan penuh pada bantuan kemanusiaan menimbulkan eksploitasi seksual transaksional. Di mana perempuan rentan dipaksa untuk menukar layanan seksual demi mendapatkan makanan, air, atau perlindungan.

4. Ketimpangan dalam pengambilan keputusan

ilustrasi di atas perahu (pexels.com/miguel-cuenca)

Kerentanan perempuan dalam menghadapi bencana alam disebabkan dari nihilnya peran perempuan dalam pengambilan keputusan pada fase pra-bencana, mitigasi, dan adaptasi. Secara tradisional, komite bencana sering didominasi oleh laki-laki. Hal ini menyebabkan kebutuhan spesifik dan pengetahuan lokal perempuan menjadi terabaikan saat menyusun kebijakan dan merencanakan evakuasi.

Ketidakterlibatan perempuan dalam perencanaan berdampak pada minimnya fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan dasar perempuan. Seperti akses pada obat-obatan, kesehatan reproduksi, dan keamanan area pengungsian. Akibatnya perempuan menghadapi risiko lebih besar baik secara psikologis mau pun fisik.

5. Rentan kehilangan tempat tinggal

ilustrasi banjir (pexels.com/pok-rie)

Dalam banyak komunitas, perempuan kurang memiliki hak formal atas tanah dan bangunan. Saat bencana menghancurkan pemukiman dan lingkungan, ketiadaan dokumen kepemilikan atas status hukum membuat perempuan sulit mengakses bantuan rekosntruksi atau kompensasi. Hilangnya tempat tinggal bukan hanya kehilangan ruang fisik, tetapi hilangnya pusat keamanan, ekonomi, dan jejaring sosial bagi perempuan.

Oleh sebab itu, respon bencana harus mengintegrasikan perspektif gender. Perspektif gender akan membantu melihat bagaimana pengalaman, kebutuhan, dan hambatan perempuan sangatlah berbeda dengan laki-laki. Dengan cara ini, proses penyelamatan dan evakuasi dapat menjangkau lebih banyak orang secara adil.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team