ilustrasi neurobiologis ketertarikan (unsplash.com/Roman Volkov)
Setelah respons neurobiologis, faktor psikologis dan sosial juga berperan besar dalam ketertarikan, salah satunya melalui fenomena yang disebut Efek Halo (Halo Effect). Melansir ResearchGate, Efek Halo adalah kecenderungan psikologis di mana kita secara otomatis mengaitkan satu sifat positif (dalam hal ini, daya tarik fisik) dengan banyak sifat positif lainnya, meskipun tanpa bukti.
Misalnya, individu yang rupawan sering dianggap lebih cerdas, lebih kompeten, lebih ramah, dan bahkan lebih sukses secara sosial. Asumsi-asumsi positif ini diperkuat terus-menerus oleh media massa dan budaya populer, yang sering menampilkan karakter menarik sebagai pahlawan atau figur yang ideal. Dengan demikian, otak tidak hanya mendapatkan dopamin dari visual yang indah, tetapi juga mendapat reward sosial karena berinteraksi dengan orang yang dianggap memiliki status sosial yang tinggi.
Fenomena ketertarikan fisik benar-benar merupakan perpaduan kompleks antara biologi dan psikologi modern. Pemahaman kita terhadap daya tarik telah berkembang jauh dari sekadar filosofi menjadi ilmu neurobiologi yang terukur. Intinya, otak kita memiliki preferensi yang keras untuk sinyal kesehatan dan genetik yang baik, dan ia memberikan reward berupa kesenangan untuk memotivasi kita dalam memenuhi kebutuhan evolusioner tersebut. Namun, terlepas dari dorongan biologis untuk mencari simetri dan sinyal hormon, penting untuk diingat bahwa daya tarik juga dipengaruhi oleh kepribadian, kecerdasan, dan faktor emosional lainnya yang membuat hubungan manusia menjadi unik. Mengapresiasi keindahan merupakan refleks alami, tetapi memahami mengapa kita mengapresiasinya akan memperkaya pengetahuan kita tentang diri sendiri.