Jika gamis berasal dari Timur Tengah, maka baju koko berasal dari Asia Tengah. Ini adalah baju tradisional masyarakat Tionghoa yang dikenal dengan nama tui khim. Baju ini mulai dikenal di Indonesia tepatnya saat pendatang Tionghoa mengunjungi Batavia. Pakaian ini dulunya menjadi identitas warga Tionghoa, saat mereka didatangkan VOC untuk membangun Batavia.
Dikutip Chinese Indonesian Heritage Center, baju tui khim adalah kemeja gaya Tionghoa tanpa kerah yang dipadukan dengan celana komprang. Orang dengan status ekonomi lebih tinggi biasanya mengganti kancing kain dengan kancing berbahan logam mulia.
Di abad ke-19, pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial memiliki jaket luar dengan kerah. Kerah adalah elemen khas Eropa dan merupakan simbol pangkat atau status. Terkadang, mereka juga memakai aksesori kebarat-baratan seperti jam saku.
Pada masa tersebut, warga Tionghoa masih menjadi budak kolonial. Namun, setelah mereka merdeka dari kekuasaan Eropa, mereka tidak lagi menggunakan baju koko. Pengaruh berpakaian yang diberikan dari warga Tionghoa saat itu akhirnya diteruskan oleh masyarakat Indonesia kelas menengah ke bawah.
Berdasarkan penuturan Remy Sylado di novelnya yang berjudul Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khilafah, baju berbahan sutra putih bernama shi-jui. Karena yang memakai adalah engkoh-engkoh (sebutan bagi lelaki Tiongkok yang lebih tua), maka baju ini dieja dalam bahasa Indonesia menjadi baju koko. Lambat laun, baju ini juga dikenal dengan istilah baju takwa.
"Baju koko itu sejarahnya panjang dan mencerminkan keberagaman unsur budaya yang membentuknya. Dari namanya baju koko sudah menggambarkan unsur Tionghoa yaitu comotan dari orang Hokkien yang berarti abang. Ini diberikan oleh orang Betawi yang kebudayaannya banyak disumbang Tionghoa dan salah satunya pakaian yang berdasar latar belakang sejarahnya berasal dari pakaian kaum peranakan Tionghoa yang ada di Tanah Betawi." Sesuai penjelasan J.J. Rizal, Sejarawan, saat diwawancarai IDN Times.
"Orang Tionghoa sendiri menyebut baju itu baju tikim (Hokkian: tui kim) yang biasa dipadupadankan dengan celana pangsi (Hokkian: phang si) diadaptasi dari pakaian tradisional orang Tionghoa di Batavia, yang masih digunakan orang Tionghoa di Batavia hingga awal abad ke-20." Lanjut Rizal.
"Saking melekat dan juga hormat atas sumbangan budaya Tionghoa, maka di Minangkabau disebut baju koko itu gunting cino. Lebih luas lagi baju koko ini juga diterima dan dijadikan bagian dari baju khas di dunia Melayu yang mengingatkan pada pakaian Teluk Belanga." Rizal menutup penjelasannya, menekankan bahwa baju koko meresap ke berbagai budaya.
Agama Islam sendiri menerima budaya apapun dari manapun, termasuk dalam cara berpakaian, selama tidak bertentangan dengan ajarannya. Salah satunya adalah mendukung fungsi berpakaian sebagai penutup aurat. Dalam hal ini, termasuk baju koko maupun baju gamis. Sehingga Islam bisa merangkul berbagai budaya, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ajarannya. Sehingga, sudah menjadi hal wajar jika kita melihat lelaki mulai anak-anak sampai usia tua mengenakan gamis dalam kesehariannya.