ilustrasi wasabi (unsplash.com/Crystal Jo)
Pertama kalinya budidaya wasabi dilakukan pada tahun 1596–1615 di hulu Sungai Abe, desa Utōgi, Prefektur Shizuoka. Penduduk Desa Utōgi kemudian mencabut tanaman liar wasabi untuk dipindah dan dibudidayakan di lahan mata air Idōgashira agar lebih teratur. Dari sinilah budidaya wasabi di Jepang menjadi usaha yang mulai dikenal banyak orang.
Hasil dari budidayanya kemudian diberikan kepada Tokugawa Ieyasu. Diketahui leyasu sangat menyukai rasa dan aroma wasabi, juga dengan bentuk daunnya yang menyerupai lambang klan Tokugawa.
Pada pertengahan zaman Edo mulailah terjadinya penyebaran wasabi ke seluruh sudut kota-kota di Jepang. Hal ini bermula ketika bibit yang diterima Itagaki Kanshirō setelah mengajarkan budidaya shiitake kepada penduduk Utōgi.
Wasabi sudah menjadi pelengkap makanan yang populer sejak zaman era Jomon, berkisar 14.000 SM dan dikenal sebagai tanaman liar yang mahal. Bahkan waktu itu hanya para penguasa yang bisa menikmati pedasnya wasabi. Tidak hanya sebagai bumbu, pada tahun 538–710 M, tepatnya pada zaman Asuka wasabi telah digunakan sebagai obat tradisional.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak penduduk Jepang yang mengenal wasabi dan dinobatkan sebagai bagian terpenting dalam hidangan Jepang. Memiliki sifat antimikroba yang membantu menjaga kesegaran ikan mentah, sejak saat itu wasabi dijadikan pelengkap sushi dan sashimi.
Hingga saat ini budidaya wasabi di Jepang masih terus berlanjut dan telah menjadi tradisi yang tidak boleh ditinggalkan. Di mana daerah Shizuoka sebagai pusat produksi utama yang diakui sebagai warisan pertanian dunia oleh FAO (Food and Agriculture Organization) pada tahun 2018.