ilustrasi gas air mata (unsplash.com/Ev)
Sebelum Perang Dunia II, Italia menggunakan air mata dan gas beracun lainnya secara ekstensif dalam perangnya dengan Ethiopia. Bukan hanya satu negara, Spanyol juga menggunakannya di Maroko dan Jepang menggunakannya melawan Cina.
Penggunaan dan pengembangan gas air mata menjadi lebih luas setelah pecahnya Perang Dunia II. Di Vietnam, AS menembakkan gas air mata ke terowongan Viet Cong. Senyawa yang menyebabkan perih mata dan pernapasan ini juga mendarat di tempat perlindungan bom. Akibatnya, warga sipil yang terperangkap di dalamnya ikut mengalami sesak napas.
Pada tahun 1966, delegasi Hongaria untuk PBB, memasukkan persoalan penggunaan gas air mata yang melukai warga sipil ke dalam agenda internasional. Masih dari sumber yang sama, perwakilan Hongaria mengatakan:
“The hollow pretexts given for using riot-control gases in Viet-Nam,” the Hungarians argued, “had been rejected by world public opinion and by the international scientific community, including scholars in the United States itself.”
Intinya, penggunaan gas air mata sebagai pengendali kerusuhan di Viet-Nam telah ditolak oleh opini publik dunia dan oleh komunitas ilmiah internasional, termasuk para sarjana di Amerika Serikat sendiri. Dalam pertemuan tersebut, Hungaria menyerukan penggunaan senjata kimia ini dalam perang sebagai kejahatan internasional.
Selanjutnya, larangan penggunaan gas air mata atau penggunaan bahan kimia lain dalam perang disepakati oleh berbagai negara. Ditandai dengan adanya kesepakatan pada Konvensi Senjata Kimia Internasional pada 1993 di Jenewa.
Aturan tersebut tertuang pada Pasal I (5) dari perjanjian yang menyatakan, "Setiap Negara Pihak berjanji untuk tidak menggunakan agen pengendalian huru hara sebagai metode peperangan". Poin tersebut disetujui berbagai negara, kecuali empat negara PBB yakni Korea Utara, Sudan Selatan, Mesir, dan Israel.