Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Piramida Agung Giza
Piramida Agung Giza (pixabay.com/Ramon Perucho)

Mesir adalah negara yang memiliki monumen-monumen luar biasa, dan tentunya menarik jutaan wisatawan dari seluruh dunia untuk mengunjungi negara ini. Peninggalan dari monumen-monumen bersejarah ini memberikan wawasan luar biasa tentang keahlian dan kecerdikan masyarakat Mesir Kuno. Ada Sphinx yang misterius, seekor singa berwajah perempuan yang berdiri setinggi 20 meter, 4.500 tahun setelah pembangunannya, serta Lembah Para Raja, tempat peristirahatan lebih dari 60 tokoh kerajaan yang memerintah pada 3 milenium lalu, sebagaimana yang diungkapkan Britannica.

Namun, permata utama dari objek wisata bersejarah Mesir adalah Piramida Agung Giza, yang berdiri tepat di barat daya Kairo dan dikunjungi oleh sekitar 2,5 juta orang setiap tahunnya. Piramida Agung Giza yang menjulang tinggi di atas gurun ini, tetap memukau hingga saat ini sebagaimana halnya bagi orang Mesir Kuno yang memandangnya bertahun-tahun yang lalu. Pada saat itu, mereka menganggapnya sebagai bukti keilahian firaun Mesir dan dewa-dewa mereka.

Struktur sosial Mesir Kuno sangat hierarkis, dan para sejarawan sepakat bahwa banyak sekali budak yang dieksploitasi dalam pembangunan Piramida Agung Giza dan bangunan bersejarah lainnya di sekitarnya. Namun, tidak semua sejarawan yakin akan hal ini. Bahkan, menurut beberapa teori liar, ada alasan lain selain perbudakan di balik pembangunan keajaiban dunia kuno ini. Berikut ini kita akan membahas teori tergila tentang pembangunan Piramida Agung Giza.

1. Piramida Agung Giza dibangun oleh alien

ilustrasi piramida dibangun oleh bantuan alien (pixabay.com/David Cosgrove)

Salah satu teori tergila paling terkenal mengenai pembangunan Piramida Agung Giza adalah gagasan bahwa piramida-piramida tersebut dibangun oleh makhluk luar angkasa. Hipotesis ini tersebar luas, terutama di internet, yang menjadi pembahasan banyak forum dan video di YouTube. Gagasan bahwa bangsa Mesir Kuno mendapatkan bantuan dari makhluk luar angkasa dalam membangun Piramida Agung Giza didasarkan pada gagasan bahwa peradaban Mesir Kuno tidak memiliki teknologi untuk menciptakan struktur yang begitu mengesankan.

Dikutip History, para pendukung teori ini menunjukkan fakta lain bahwa piramida juga ditemukan di seluruh dunia, contohnya saja di Meksiko dan Peru. Hal ini, menurut mereka, merupakan bukti bahwa teknologi yang sama pernah disebarkan di berbagai peradaban oleh alien, dengan kemampuan yang tidak dapat dilakukan oleh manusia purba. Beberapa bahkan mengatakan bahwa mural-mural Mesir Kuno yang ditemukan oleh para sejarawan menggambarkan kedatangan pesawat alien. Hal ini dianggap sebagai peristiwa sejarah nyata yang dicatat oleh bangsa Mesir Kuno untuk generasi mendatang.

Di sisi lain, kritikus teori tersebut mencatat bahwa piramida adalah bentuk konstruktif yang fundamental. Demikian pula, beberapa ahli Mesir Kuno juga telah mengamati gambar seperti pesawat ruang angkasa dalam seni Mesir Kuno. Sayangnya, ada keberadaan palimpsest, yakni lapisan-lapisan hieroglif yang telah menghilang dan dibuat kembali. Nah, hal ini bisa saja disalahartikan, seperti ketika citra matahari dianggap sebagai UFO.

2. Piramida Agung Giza dibangun oleh Nabi Nuh

ilustrasi bahtera Nuh (pixabay.com/Ria Sopala)

Bagi beberapa pengamat agama, terutama Yahudi-Kristen, menjelaskan bahwa Nabi Nuh atau Noah dalam Alkitab-lah yang membangun Piramida Agung Giza. Menurut Kitab Kejadian, Nabi Nuh beserta keluarganya dipilih oleh Tuhan untuk diselamatkan dari banjir besar yang melanda Bumi. Peristiwa itu memusnahkan seluruh umat manusia setelah Tuhan menghakimi umat manusia atas kejahatan mereka. Nabi Nuh pun diperintahkan untuk membangun sebuah Bahtera besar, atau perahu, di mana ia akan mengumpulkan dua ekor dari setiap hewan, yang memungkinkan umat manusia dan fauna Bumi untuk kembali bermukim setelah banjir surut.

Kisah ini kontroversial, bahkan di antara para pengamat agama. Banyak yang menganggapnya sebagai cerita fiksi semata, tetapi penganut agama yang lebih literal mengklaim bahwa itu adalah kisah nyata. Namun, hingga saat ini, tidak ada bukti geologis yang menunjukkan bahwa banjir besar seperti itu pernah terjadi dalam sejarah.

Namun, bagaimana kisah Bahtera Nuh dikaitkan dengan Piramida Agung Giza? Nah, menurut beberapa ahli teori, seperti YouTuber Ancient Architects bernama Matthew Sibson, mengatakan bahwa piramida itu sebenarnya merupakan bahtera seperti yang dijelaskan dalam Kitab Kejadian. Sibson berpendapat bahwa kisah bahtera itu bisa jadi merupakan metafora untuk struktur-struktur besar ini, yang mungkin dibangun untuk bertahan dari banjir. Jadi, bukan sebuah perahu besar.

3. Piramida Agung Giza dibuat oleh orang-orang Atlantis

ilustrasi negeri Atlantis (pixabay.com/Sam)

Legenda Atlantis, daratan misterius yang konon lenyap ke dalam lautan pada ribuan tahun lalu ini, rupanya memikat imajinasi para teori konspirasi selama beberapa generasi. Disebutkan bahkan dalam dialog-dialog Plato, filsuf tersebut menggambarkan bagaimana negara kepulauan itu kaya dan maju hingga ketika penduduknya melakukan kejahatan. Pulau itu pun dilanda gempa bumi, yang mungkin merupakan azab atau mungkin juga bukan.

Sejak saat itu, Atlantis digaungkan selama berabad-abad dan bahkan memiliki tempat dalam kepercayaan okultisme dari organisasi paramiliter Nazi Jerman, SS (Schutzstaffel), yang melakukan perburuan untuk menemukan Cawan Suci. Berdasarkan logikanya, menemukan sisa-sisa dari kota tersebut dapat membenarkan doktrin rasis supremasi Arya mereka. Meskipun pencarian itu pada akhirnya hanya sia-sia.

Dilansir The Collector, mereka, seperti penganut teori Atlantis lainnya, berasumsi bahwa banyak orang Atlantis telah berhasil melarikan diri dari pulau yang terkutuk itu, menyebar ke seluruh dunia, dan membawa budaya serta teknologi mereka. Hal ini, menurut beberapa orang, menjelaskan bagaimana Piramida Agung Giza bisa dibangun di kedua sisi Atlantik. Mereka percaya kalau Piramida Agung Giza merupakan hasil dari pengetahuan hebat orang-orang Atlantis yang muncul di Mesir Kuno. Bahkan, orang Mesir sendiri diduga merupakan keturunan bangsa Atlantis.

4. Piramida Agung Giza dibangun menggunakan levitasi akustik

Piramida Agung Giza (pixabay.com/Tibor Lezsófi)

Siapa pun yang membangun Piramida Agung Giza, tugas mereka sangatlah berat. Pasalnya, Piramida Agung, yang terbesar dari ketiga piramida, tingginya 147 meter setelah selesai dibangun. Piramida ini dirakit menggunakan 2,3 juta blok batu potong, yang sebagian besar beratnya antara 2,5 sampai 15 ton. Beberapa batunya, seperti blok granit yang melapisi Kamar Raja, beratnya mencapai 80 ton, lho.

Nah, karena dirasa mustahil untuk dikerjakan manusia tanpa bantuan alat berat, beberapa orang pun mengira bahwa ada kekuatan supernatural yang dilibatkan. Yap, konstruksi tersebut diselesaikan dengan menggunakan levitasi. Secara khusus, teori-teori tersebut mengklaim bahwa orang Mesir Kuno menggunakan levitasi akustik, sebuah teknologi yang menggunakan gelombang suara untuk menggerakkan benda.

Ancient Origins melansir kabar bahwa para ilmuwan modern saat ini berada pada tahap awal eksperimen levitasi akustik, menggunakan gelombang tersebut untuk menggerakkan benda-benda kecil, seperti bola polistirena. Secara teoritis, menggerakkan benda-benda yang lebih besar mungkin saja bisa dilakukan. Bagi sebagian penganut teori konspirasi yang tidak percaya bahwa balok-balok batu Piramida Giza dipindahkan menggunakan tenaga manusia, levitasi akustik tampaknya jauh lebih masuk akal. Namun, bagaimana, sih, orang Mesir Kuno bisa menciptakan atau menerima teknologi semacam itu? Nah, itu pun menjadi pertanyaan lain yang juga tidak bisa dijawab.

Ingat, ya! Ini hanya sebuah teori konspirasi. Kebenarannya pun masih dipertanyakan karena tidak adanya bukti yang kuat. Meskipun begitu, beberapa penganutnya masih excited membahasnya. Apa kamu salah satunya?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team