Wajib Tahu, 9 Fakta Sejarah tentang Perang Rempah di Samudra Hindia

Rempah-rempah memiliki sejarah tersendiri di Nusantara dan wilayah sekitarnya. Sementara kita sering mendengar tentang sejarah kolonialisme Barat, sedikit dari kita yang mengetahui kalau akar penaklukan bangsa Eropa di Dunia Baru dapat ditelusuri ke sebuah keinginan yang sangat sederhana: menambahkan cita rasa ke makanan yang terasa hambar.
Karena menjadi komoditi yang "seksi" pada masanya, tidak heran jika rempah-rempah telah memicu banyak perang dan konflik berdarah, khususnya demi kontrol perdagangan di Jalur Rempah. Dari sekian banyak fakta sejarahnya, 9 di antaranya akan dibahas di bawah ini.
1. Kampanye "teror" Vasco da Gama
Pada tahun 1502, Vasco da Gama memimpin ekspedisi ketiganya ke Samudra Hindia dengan armada 20 kapal untuk merebut kendali rute perdagangan dari pedagang Muslim. Portugis sendiri sudah membangun stasiun perdagangan di Calicut beberapa tahun sebelumnya untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah lokal.
Sayangnya, hal itu menjadi blunder bagi mereka. Karena ingin memonopoli rempah-rempah di sana, para pelaut Portugis dibantai oleh para pedagang Muslim yang geram saat melewati Jeddah. Portugis pun merespon dengan menghancurkan 10 kapal Muslim yang menewaskan hampir 600 orang dan membombardir pelabuhan India.
Namun, Portugis masih menginginkan balas dendam terhadap pedagang Muslim dan mempertegas monopoli di sana. Untungnya, da Gama adalah orang yang benar-benar tepat untuk melakukannya. Melansir dari BBC, saat tiba di dekat Cannanore (sekarang Kannur), India, ia tidak membuang waktu untuk memulai kampanye teror di lepas pantai Malabar, India.
Setelah puas "bermain-main" di sekitar Laut Arab, Da Gama kemudian berlayar lebih dekat ke Calicut, di mana pasukannya menangkap dan memotong-motong 30 nelayan dan membiarkan tubuh mereka mengambang agar ditemukan oleh keluarga mereka.
2. Pertempuran Diu
Pertempuran Diu dianggap sebagai salah satu pertempuran laut paling menentukan dalam sejarah. Bisa dibilang kalau pertempuran ini membantu Portugis untuk menguasai Samudra Hindia.
Pada saat itu, sebuah koalisi internasional telah dibentuk, yang menyatukan Ottoman, Mesir, Gujarat, Calicut, Venesia, dan Republik Ragusa untuk mengusir para penjajah Portugis dan menjaga rute perdagangan yang telah dibangun melalui Laut Merah dan Teluk Arab.
Pertempuran Diu yang terjadi pada 1509 memang tampak timpang. Koalisi memiliki keuntungan besar atas Portugis dengan 100 kapal dan pasukan yang mumpuni, sedangkan Portugis hanya memiliki 18 kapal di bawah komando Raja Muda Francisco de Almeida. Namun di sinilah letak kehebatan armada Portugis.
Sebagaimana dikutip dari buku History of the Portuguese Navigation in India, 1497-1600, pada saat itu armada de Almeida memiliki artileri yang lebih baik dengan penembak yang lebih terlatih, awak berpengalaman dan profesional, dan senjata serta peralatan yang lebih baik dari koalisi. Pada akhirnya, merekalah yang memenangkan pertempuran ini.
Setelahnya, beberapa kapal armada koalisi disimpan sebagai rampasan perang. Di antaranya adalah dua kapal model baru yang dikenal sebagai galleon, sebuah kapal yang dibuat oleh Venesia dan memiliki kinerja baik dalam pertempuran laut.
Galleon-galleon ini pada akhirnya akan "disalin" oleh para ahli kapal Portugis dan selanjutnya membantu menguatkan cengkeraman mereka di Samudra Hindia.
3. Penaklukan Malaka
Malaka adalah pusat perdagangan yang diperintah oleh sultan Muslim dan menjadi kosmopolitan pada masanya. Kota ini terletak di jalur perdagangan antara Asia Timur dan anak benua India, dan dibagi menjadi empat distrik yang mewakili kelompok dagang utama — Tionghoa, Jawa, Gujarat, dan Bengali.
Semenanjung Melayu pertama kali dikunjungi oleh Diogo Lopes de Sequeira pada tahun 1509, seorang Portugis yang lebih dikenal dengan nama klasiknya, Golden Chersonese. Pada awalnya, hubungan antara armada Portugis dengan para pedagang Muslim cukup baik, sampai sebuah konflik terjadi.
Konflik ini menjadi semakin parah saat Raja Muda Afonso de Albuquerque mengerahkan 18 kapal untuk menyelamatkan orang Portugis yang di tahan di sana dan membalas penghinaan yang dilakukan oleh Sultan Malaka pada tahun 1511. Negosiasi pun terjadi selama berminggu-minggu.
Pada saat itu, de Albuquerque yakin bahwa sultan sedang merencanakan sesuatu. Ia kemudian dinasihati oleh salah satu petingginya, Ruy de Araujo, bahwa kendali Malaka terletak pada jembatan tertentu yang menyatukan dua bagian kota. Perang pun tidak dapat terelakkan dan pada akhirnya dimenangkan oleh de Albuquerque.
Seperti yang dilansir dari buku The History of Portugal, setelahnya Portugis menyita banyak barang rampasan seperti emas, perak, permata, sutra, dan rempah-rempah di sana. Portugis mendirikan pemerintahan mereka di Malaka dan sebuah benteng dibangun dengan batu yang diambil dari masjid-masjid lokal dan makam-makam sultan terdahulu.
4. Penaklukan Portugis atas Ceylon
Seperti yang sudah kita ketahui sebelumnya, pada awal abad ke-16 Portugis mendominasi perdagangan rempah-rempah di India. Setelah menaklukkan India, mereka mulai mengalihkan pandangan ke Pulau Ceylon — sekarang Sri Lanka — yang terkenal dengan kayu manisnya. Pulau itu sendiri terbagi menjadi empat kerajaan — Kotte, Sitawaka, Kandy, dan Jaffna.
Portugis pun merencanakan taktik yang mirip dengan yang digunakan untuk mendapatkan pantai Malabar, India. Pertama-tama mereka mencari sekutu lokal dan menandatangani perjanjian komersial, kemudian menggunakannya sebagai dukungan untuk melawan saingan mereka.
Pada tahun 1518, Raja Muda Lopo Soares de Albegaria mendarat di dekat Colombo dengan armada besar dan membangun benteng di sana. Seiring berjalannya waktu, kekuatan Portugis perlahan-lahan mulai tumbuh meskipun ditentang oleh kekuatan lokal.
Pada tahun 1597, Raja Philip dari Spanyol dan Portugis menjadi "raja bersama" Ceylon. Melansir dari laman Colonial Voyage, pada saat itu hanya Kerajaan Kandy yang berada di luar kendali Portugis karena mereka menjalin hubungan persahabatan dengan Belanda.
Meskipun Kandy kemudian dinetralkan oleh Portugis, Belanda secara sistematis mendorong Portugis keluar dari pulau itu pada abad ke-17 dan berhasil merebut kendali perdagangan kayu manis di sana.
5. Pendaratan Cornelis de Houtman di Banten
Cornelis de Houtman adalah salah satu "pionir" dari Belanda yang dikirim untuk mematahkan dominasi Spanyol dan Portugis dalam perdagangan rempah-rempah di wilayah Samudra Hindia. Kita juga tahu dengan jelas kalau ia adalah sosok yang benar-benar tidak "sopan."
Ketika sedang berlayar, satu kapalnya tenggelam dan merenggut nyawa 145 pelaut. Singkatnya, disiplin di atas kapalnya telah hancur ketika mereka mencapai Sumatra. Mereka pun segera tiba di pelabuhan Banten, di mana de Houtman berharap untuk membeli rempah-rempah dengan harga murah. Tentu saja para pedagang di sana marah dengannya.
Memang, pada awalnya mereka disambut dengan baik oleh penduduk setempat. Namun perangai awak kapal de Houtman yang tidak sopan telah membuat mereka ditangkap oleh aparat Kesultanan Banten dan dijebloskan ke penjara. Salah satunya adalah saudara kandung Cornelis, Frederick de Houtman.
Sebagaimana dilansir dari buku Merchant Kings: When Companies Ruled the World, 1600-1900, hal tersebut membuat de Houtman marah sehingga membombardir Banten dengan meriam. Setelah selesai membalas dendam, mereka bersiap-siap untuk kembali berlayar.
Namun saat berlayar ke pelabuhan Sidayu, Gresik, mereka diserang oleh sekelompok penduduk setempat yang menaiki salah satu kapal lalu merampok 12 orang Belanda sampai mati. De Houtman pun melakukan serangan balik, mengejar para orang Jawa dengan perahu dayung dan mengeksekusi mereka.
6. Pesta "selamat datang" di Madura
Sejujurnya, De Houtman masih marah dengan serangan terhadap awaknya di dekat Sidayu ketika ia tiba di lepas pantai Madura. Pada saat itu, para penduduk setempat juga tidak tahu menahu tentang peristiwa di Banten dan Sedayu. Anehnya, mereka malah berupaya untuk menyambut para orang Belanda ini.
Seperti yang dikutip dari buku Krakatoa: The Day the World Exploded, pangeran setempat bahkan melakukan parade selamat datang dengan sebuah armada. Armada itu kemudian berlayar secara perlahan-lahan menuju armada de Houtman dengan kapal tongkang besar dan megah yang dinaiki oleh sang pangeran.
Ketika armada tersebut mendekat, Belanda yang trauma dengan serangan sebelumnya mencurigai penyergapan serupa. Lebih baik aman daripada menyesal, de Houtman pun menembaki armada dan menewaskan semua orang di atas kapal pangeran. Hanya 20 penduduk asli di armada tersebut yang selamat dari sikap paranoid de Houtman.
Bisa dibilang kalau pelayaran de Houtman tidak sukses. Ia akhirnya menyerah dan pulang tanpa rempah-rempah, hanya dengan jejak pembantaian di belakang mereka. Meskipun begitu, pelayaran de Houtman telah membuat Kerajaan Belanda memulai pelayarannya ke Indonesia.
7. Perang Belanda-Portugis
Dalam perjuangannya untuk merdeka dari Spanyol, Belanda memutuskan untuk "memukul" mereka dengan mengganggu rute perdagangan Spanyol dan Portugis di Afrika, Amerika, dan Asia. Pada saat itu, baik Portugis dan Spanyol berada di bawah pemerintahan Monarki Habsburg, musuh yang paling dibenci oleh Belanda.
Salah satu komponen paling menguntungkan dari sistem perdagangan Iberia pada saat itu adalah stasiun perdagangan Portugis yang didirikan di Samudera Hindia dan Asia. Dengan mengacaukan rute-rute ini, Belanda dapat memperkaya diri mereka sendiri dan memulai perang dengan musuh-musuh mereka.
Pada 1602, perusahaan perdagangan regional dilebur menjadi Dutch East India Company atau yang lebih dikenal sebagai Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Meskipun nantinya akan terkenal karena kerajaan dagangnya, pada awalnya VOC hanyalah alat perang yang menerima subsidi dari pemerintah federal.
Melansir dari jurnal The First Global War: The Dutch versus Iberia in Asia, Africa and the New World, 1590-1609, serangan Belanda terhadap rute perdagangan Spanyol dan Portugis di Asia (di samping upaya mereka di Afrika, Brasil, dan Karibia) berhasil mengacaukan ekonomi dua kerajaan Iberia tersebut.
Dapat diperdebatkan apakah serangan Belanda terhadap pelayaran Portugis menimbulkan kerusakan tak terukur atau hanya menghambat pertumbuhan mereka. Walau bagaimanapun, perang dagang ini akan menjadi fondasi bagi pertumbuhan kekuatan maritim Belanda, yang nantinya akan mengalahkan dominasi dua kerajaan Iberia di Samudra Hindia.
8. Pembantaian di Kepulauan Banda
Pala adalah rempah-rempah yang sangat populer di Eropa pada abad ke-15, yang digunakan untuk membumbui dan menyamarkan rasa daging yang tidak diawetkan dengan baik. Pada saat itu, pala yang harganya satu sen di pasar Asia bisa mencapai dua pound atau 10 shilling di jalanan Kota London.
Komoditi pala sendiri cukup melimpah di Kepulauan Banda. Sejak awal, Belanda memang mendambakan kontrol atas Kepulauan Banda yang saat itu dimonopoli oleh Portugis. Maka pada tahun 1612, VOC masuk dan mulai menguasai pulau-pulau tersebut.
Saat itu, Belanda langsung menetapkan kebijakan perlindungan yang ketat. Seperti yang dilansir dari laman Guardian, mereka melarang ekspor pohon, membasahi pala dengan jeruk nipis agar tidak subur sebelum ekspor, dan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka yang tertangkap mencuri, menanam, atau menjualnya.
Ketika penduduk setempat memberontak terhadap aturan tersebut, Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, segera memerintahkan pembantaian di sana. Dalam 15 tahun, Belanda mengurangi populasi pulau itu dari 15.000 menjadi 600 orang saja.
Salah satu pulau, Run, lolos untuk sementara waktu berkat perlindungan Inggris. Namun setelah menang dalam perebutan militer, Belanda mendapatkan kendali atas pulau itu juga. Lucunya, mereka mendapatkan Pulau Run setelah melepaskan kendali atas pulau yang tampaknya tidak penting dan tidak menjanjikan di belahan dunia lain: Manhattan.
Pala membantu VOC menjadi perusahaan terkaya di dunia, setidaknya sampai 1770 ketika hortikultura asal Prancis, Pierre Poivre, berhasil memecahkan monopoli Belanda dengan menyelundupkan beberapa pala ke Mauritius. Pada 1778, tsunami menghancurkan setengah perkebunan pala di Banda dan kepulauan itu akhirnya diambil oleh Inggris pada 1809.
9. Pembantaian Amboyna (Ambon)
Pulau Ambon di Maluku adalah pusat perdagangan rempah yang menjadi rebutan VOC dan Inggris. Setelah beberapa tahun konflik berdarah, VOC dan Inggris akhirnya setuju untuk berdamai pada tahun 1619. Namun kapal-kapal Belanda terus mengganggu kapal dagang Inggris dan meningkatkan biaya lada di sana.
Pada tahun 1623, seorang tentara Jepang yang disewa oleh Inggris ditemukan sedang berkeliaran di Ambon dan mengajukan pertanyaan yang mencurigakan tentang benteng Belanda. Melansir dari Britannica, hal ini membuat merchant-governor Belanda, Herman van Speult, percaya kalau Inggris akan meluncurkan serangan terhadap mereka.
Beberapa tentara bayaran Jepang pun disiksa sampai mereka mengungkapkan rencana Inggris terhadap Belanda. Setelah berhasil memaksa pemimpin Inggris di Ambon, Gabriel Towerson, untuk mengaku, von Speult membunuh 10 orang Inggris dan sembilan tentara bayaran Jepang dengan cara dipancung.
Eksekusi dan legalitas von Speult yang meragukan menyebabkan lonjakan sentimen anti-Belanda di Inggris sehingga memperumit hubungan antar dua negara ini selama beberapa generasi setelahnya.
Nah, itu tadi 9 fakta sejarah tentang Perang Rempah di Samudra Hindia. Ternyata, hal-hal terkejam pun bisa dilakukan demi rempah-rempah semata ya.