Pala adalah rempah-rempah yang sangat populer di Eropa pada abad ke-15, yang digunakan untuk membumbui dan menyamarkan rasa daging yang tidak diawetkan dengan baik. Pada saat itu, pala yang harganya satu sen di pasar Asia bisa mencapai dua pound atau 10 shilling di jalanan Kota London.
Komoditi pala sendiri cukup melimpah di Kepulauan Banda. Sejak awal, Belanda memang mendambakan kontrol atas Kepulauan Banda yang saat itu dimonopoli oleh Portugis. Maka pada tahun 1612, VOC masuk dan mulai menguasai pulau-pulau tersebut.
Saat itu, Belanda langsung menetapkan kebijakan perlindungan yang ketat. Seperti yang dilansir dari laman Guardian, mereka melarang ekspor pohon, membasahi pala dengan jeruk nipis agar tidak subur sebelum ekspor, dan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka yang tertangkap mencuri, menanam, atau menjualnya.
Ketika penduduk setempat memberontak terhadap aturan tersebut, Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, segera memerintahkan pembantaian di sana. Dalam 15 tahun, Belanda mengurangi populasi pulau itu dari 15.000 menjadi 600 orang saja.
Salah satu pulau, Run, lolos untuk sementara waktu berkat perlindungan Inggris. Namun setelah menang dalam perebutan militer, Belanda mendapatkan kendali atas pulau itu juga. Lucunya, mereka mendapatkan Pulau Run setelah melepaskan kendali atas pulau yang tampaknya tidak penting dan tidak menjanjikan di belahan dunia lain: Manhattan.
Pala membantu VOC menjadi perusahaan terkaya di dunia, setidaknya sampai 1770 ketika hortikultura asal Prancis, Pierre Poivre, berhasil memecahkan monopoli Belanda dengan menyelundupkan beberapa pala ke Mauritius. Pada 1778, tsunami menghancurkan setengah perkebunan pala di Banda dan kepulauan itu akhirnya diambil oleh Inggris pada 1809.