Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Gajah
ilustrasi gajah (pexels.com/Pixabay)

Intinya sih...

  • Gajah jantan bisa mengamuk saat memasuki masa musth, menjadi ancaman serius bagi manusia atau hewan lain.

  • Agresi gajah bisa dipelajari dari induknya, menciptakan siklus kekerasan di wilayah konflik tertentu.

  • Kehilangan sosok senior membuat gajah muda jadi "preman", meningkatkan potensi konflik antara gajah dan manusia.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Ketika membicarakan gajah, citra yang langsung terlintas di benak kita adalah sosok raksasa yang lembut, agung, dan penuh empati. Raksasa berbelalai panjang ini sering digambarkan sebagai hewan keluarga yang setia kawan dan bijaksana, terutama di film-film dan buku cerita anak. Mereka hidup dalam kelompok sosial yang erat, dipimpin oleh induk betina paling senior, dan menunjukkan duka mendalam saat ada kawanannya yang mati.

Namun, di balik reputasi sebagai gentle giant atau 'raksasa lembut' itu, ada sisi lain dari gajah yang jauh dari kata lembut. Dalam kondisi tertentu, gajah bisa menjadi salah satu makhluk paling berbahaya di darat. Perilaku agresif ini bukanlah anomali, melainkan respons kompleks yang dipicu oleh hormon, trauma, tekanan lingkungan, dan naluri purba yang jarang kita ketahui. Sisi 'brutal' inilah yang menunjukkan betapa rumitnya kehidupan satwa liar yang habitatnya makin terimpit oleh manusia.

1. Gajah jantan bisa mengamuk hebat saat memasuki masa musth

ilustrasi gajah (pexels.com/Brenda Timmermans)

Setiap tahun, gajah jantan dewasa dapat memasuki fase biologis yang sangat intens dan berbahaya yang disebut musth. Kondisi ini ditandai dengan lonjakan hormon reproduksi yang drastis, mengubah perilaku mereka menjadi sangat agresif, tidak terduga, dan teritorial. Tsavo Trust, sebuah lembaga konservasi, menjelaskan bahwa selama periode ini, gajah jantan menjadi sangat dominan dan akan menyerang untuk mengamankan hak kawin, menjadikannya ancaman serius bagi manusia atau hewan lain yang secara tidak sengaja berada di jalurnya.

Fenomena ini bukanlah sekadar amarah biasa; ini adalah dorongan biologis yang kuat. Istilah musth sendiri berasal dari bahasa Persia yang berarti 'mabuk', sebuah gambaran yang pas untuk kondisi gajah yang seolah kehilangan kendali. Memahami tanda-tanda seekor gajah sedang dalam kondisi musth—seperti cairan yang mengalir dari kelenjar di sisi kepala mereka—sangatlah penting untuk menghindari konflik fatal di alam liar. Perilaku ekstrem ini, ditambah dengan tekanan dari penyempitan habitat, semakin memperburuk potensi konflik antara gajah dan manusia.

2. Agresi mereka bisa jadi perilaku yang dipelajari dari induknya

ilustrasi gajah di alam liar (pexels.com/Pixabay)

Gajah adalah makhluk yang sangat cerdas dengan daya ingat luar biasa. Ternyata, sifat agresif mereka terhadap manusia bisa jadi merupakan sebuah perilaku yang dipelajari dan diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Joyce Poole, seorang peneliti gajah yang dikutip oleh National Geographic, pengalaman buruk seekor induk gajah dengan manusia akan membentuk perilakunya di masa depan, entah menjadi lebih penakut atau justru lebih agresif.

Anggota keluarga gajah yang lebih muda akan mengamati dan meniru reaksi sang induk saat menghadapi krisis. "Sama seperti anak-anak yang mempelajari prasangka dari orang tua mereka, begitu pula gajah," ujar Poole. Jika seekor induk pernah mengalami atau menyaksikan perburuan, penyiksaan, atau penggusuran oleh manusia, ia akan mengajarkan anak-anaknya bahwa manusia adalah ancaman. Trauma kolektif ini menciptakan siklus kekerasan di mana gajah di wilayah konflik tertentu menjadi lebih mungkin untuk menyerang manusia tanpa provokasi langsung.

3. Kehilangan sosok senior membuat gajah muda jadi "preman"

ilustrasi gajah (pexels.com/Pixabay)

Struktur sosial dalam kawanan gajah ternyata memegang peranan krusial dalam mengendalikan perilaku mereka. Sebuah penelitian dari University of Exeter menemukan fakta mengejutkan: gajah jantan yang lebih muda cenderung berperilaku lebih agresif ketika di sekitarnya tidak ada gajah jantan yang lebih tua dan berpengalaman. Para gajah senior ini berperan layaknya 'tetua' yang menjaga ketertiban dan menenangkan para pejantan muda yang energinya meluap-luap.

Sayangnya, gajah-gajah jantan tua ini sering menjadi target utama perburuan trofi karena memiliki gading yang besar. Hilangnya mereka dari populasi menciptakan kekosongan sosial. Akibatnya, gajah-gajah remaja yang kurang pengalaman dan mudah stres ini menjadi lebih gampang menyerang target non-gajah, seperti kendaraan, ternak, dan spesies hewan lainnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa aksi perburuan tidak hanya mengurangi populasi, tetapi juga merusak tatanan sosial yang sudah ada dan secara tidak langsung memicu lebih banyak konflik antara gajah dan manusia.

4. Kompetisi memperebutkan lahan dan sumber daya picu amarah gajah

potret gajah Sumatra (kusuma wijaya, CC BY-SA 4.0, via Wikimedia Commons)

Salah satu pemicu utama agresivitas gajah adalah tekanan dari lingkungan hidup mereka yang semakin sempit. Ekspansi populasi manusia membuat habitat alami gajah terus berkurang, memaksa mereka masuk ke area yang lebih kecil dan sering kali tumpang tindih dengan lahan pertanian atau pemukiman warga. Dilansir National Geographic, situasi ini menciptakan kompetisi langsung antara gajah dan manusia untuk memperebutkan sumber daya seperti air dan makanan.

Seekor gajah dewasa bisa makan lebih dari 180 kilogram vegetasi setiap hari, dan satu kawanan bisa menghabiskan seluruh ladang jagung dalam satu malam. Bagi petani miskin, ini adalah kerugian besar yang memicu konflik. Menurut data yang dirilis media tersebut, sekitar 500 orang tewas akibat serangan gajah setiap tahunnya. Di sisi lain, seperti yang dicatat oleh Tsavo Trust, gajah yang merasa terdesak dan kelaparan akan melakukan apa saja untuk bertahan hidup, termasuk menyerang manusia yang mereka anggap sebagai ancaman bagi sumber kehidupan mereka.

5. Mereka bisa menjadi sangat defensif saat melindungi anaknya

ilustrasi induk dan anak gajah (pexels.com/Pixabay)

Naluri keibuan adalah salah satu kekuatan terbesar di dunia hewan, dan ini sangat berlaku bagi gajah. Induk gajah sangat protektif terhadap anak-anaknya. Menurut SANParks, gajah betina yang biasanya damai bisa berubah menjadi sangat agresif ketika ada anak-anaknya di dekatnya. Mereka tidak akan ragu untuk melancarkan serangan penuh jika merasa anak mereka terancam, bahkan oleh kehadiran manusia yang tidak sengaja terlalu dekat.

Serangan ini murni bersifat defensif, didorong oleh naluri untuk melindungi keturunannya dari predator atau ancaman yang dirasakan. Seekor induk gajah akan melebarkan telinganya, mengeluarkan suara gemuruh, dan tanpa ragu akan melakukan serangan sungguhan—bukan sekadar gertakan—untuk memastikan keselamatan anaknya. Tsavo Trust juga menggarisbawahi bahwa mendekati anak gajah, meskipun terlihat lucu dan menggemaskan, adalah tindakan yang sangat berbahaya dan bisa memprovokasi serangan fatal dari induknya atau anggota kawanan lainnya.

Pada akhirnya, memahami sisi 'brutal' gajah bukanlah untuk melabeli mereka sebagai monster, melainkan untuk melihat gambaran yang lebih utuh dan kompleks. Perilaku mereka adalah cerminan dari tekanan luar biasa yang mereka hadapi, mulai dari perubahan hormon hingga hilangnya habitat dan trauma mendalam akibat ulah manusia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team