pesawat Soviet Il-2 terbang di dekat Moskow ( RIA Novosti archive via commons.wikimedia.org/Samaryi Guraryi / амарий арий)
Lambat laun, Hitler pun menyadari jika Inggris tak kunjung ingin berdamai. Di sini, akhirnya ia menyadari satu hal, yaitu minyak sebagai kuncinya. Logikanya, tidak ada minyak, maka truk, tank, kapal perang, dan mesin-mesin perang lainnya tidak akan bergerak.
Sumber minyak Hitler terdapat di Polesti, Rumania. Namun sayangnya, ladang minyak itu tidak cukup untuk menggerakan mesin-mesin perang Jerman. Sebenarnya, Jerman sudah bisa menciptakan bensin dan solar dari batu bara, tapi terlalu mahal. Alhasil, mata Hitler pun langsung tertuju pada sumber minyak Uni Soviet di daerah Kaukasus.
Satu-satunya cara agar Inggris mau berdamai dengan Jerman adalah dengan menaklukkan Uni Soviet yang diharapkan Inggris bisa menjadi sekutu dengannya. Hitler pun memerintahkan para jenderalnya untuk menyusun rencana sebuah invasi yang dikenal sebagai Operasi Barbarossa. Dalam operasi itu, Hitler mengerahkan tiga juta pasukannya bersama tentara sekutu-sekutunya untuk menyerbu Uni Soviet.
Namun, kenyataan di lapangan lebih rumit. Hitler dan jenderal-jenderalnya pun memiliki pemikiran yang berbeda. Para jenderal Hitler berpikir untuk merebut Moskow, karena menurut mereka cara untuk menaklukkan sebuah negara adalah dengan merebut ibu kotanya.
Hitler pun murka. Ia pun bertengkar dengan para jenderalnya yang memakan banyak waktu dan menciptakan kebingungan di kalangan tentara Jerman. Padahal, saat itu pasukan Uni Soviet sedang kocar-kacir karena mendapat serangan dadakan dari Jerman.
Andai, Jerman tidak menghabiskan waktu untuk bertengkar, mungkin mereka sudah bisa merebut Moskow atau Kaukasus sebelum musim dingin hebat tahun 1941. Pasukan Jerman terpukul mundur karena tidak memiliki persiapan perang di tengah musim dingin yang mencapai -40 derajat Celsius.
Alhasil, Moskow pun tidak pernah bisa direbut pasukan Jerman. Masalah lain muncul ketika Hitler tahu, bahwa kini Jerman tak memiliki persediaan bahan bakar yang mencukupi untuk memenangkan perang melawan Inggris.
Dikeroyok oleh banyak tentara Inggris, kekurangan amunisi, bahan bakar minyak, hingga bala bantuan manusia, membuat pasukan kecil pimpinan Erwin Rommel itu terpaksa mundur dari Mesir. Rommel bisa berbuat jauh lebih banyak, jika dari awal ia mendapat lebih dari dua divisi yang berisi sekitar 30 ribu tentara.
Pikirnya, daripada mengirim tiga juta tentara ke Uni Soviet, mengirim paling tidak 100 ribu tentara ke Afrika akan jauh lebih efektif. Sayang, Hitler tidak begitu mengindahkan saran dari Raeder dan Rommel yang terus menerus meminta bala bantuan untuk pasukan kecil mereka yang terdesak di wilayah Afrika ini.