ilustrasi eksperimen penjara Stanford (nytimes.com)
Pada Agustus 1971, profesor psikologi asal Stanford University, Philip Zimbardo, memutuskan untuk menguji teori bahwa konflik dan perlakuan tidak menyenangkan antara sipir penjara dan narapidana sejatinya berasal dari kepribadian masing-masing.
Zimbardo dan timnya mendirikan "penjara" di gedung psikologi Stanford dan melibatkan 24 sukarelawan yang berperan sebagai "narapidana" atau "sipir". Lalu, mereka diberikan pakaian sesuai dengan peran mereka. Sementara, Zimbardo berperan sebagai "inspektur pengawas".
Ketika Zimbardo mendorong para sipir menciptakan "sensasi ketidakberdayaan" di antara para narapidana bohongan, hal-hal menjadi tidak terkendali. Sekitar empat sipir menunjukkan perilaku sadis.
Para narapidana ditelanjangi dan dipermalukan, ditelantarkan dalam kondisi tidak sehat dan dipaksa untuk tidur di lantai beton. Salah satu napi dikunci di dalam lemari karena tidak mematuhi sang "sipir".
Apakah Zimbardo kemudian menghentikan eksperimennya? Tidak! Zimbardo malah ikut terbawa suasana sehingga tidak sadar akan akibatnya.
Setelah enam hari eksperimen, pacar Zimbardo, Christina Maslach, memintanya menghentikan eksperimen tersebut. Sebelumnya, Zimbardo berencana untuk melakukan eksperimen tersebut selama dua minggu.
Zimbardo mencatat, dari lebih dari 50 orang yang menyaksikan eksperimen tersebut, hanya Maslach yang mempertanyakan moralitasnya.
Kendati dihentikan, lima dari "narapidana" mengalami trauma emosional.
Setelah kejadian eksperimen Zimbardo, lembaga psikologi terkemuka di Amerika Serikat, American Psychology Association (APA), kemudian menciptakan pedoman yang mengatur etika percobaan ilmiah terhadap manusia.
Eksperimen ini juga kemudian menginspirasi sebuah film berjudul "The Stanford Prison Experiment" yang ditayangkan pada 2015. Berikut cuplikan trailer dari film tersebut.