Zelenskiy saat memberi tribut untuk korban Euromaidan (instagram.com/zelenskiy_official)
Krimea menjadi topik hangat di tahun 2014 saat terjadi krisis politik di Ukraina. Semua berawal dari demo Euromaidan yang menuntut pemerintah Ukraina berkuasa untuk segera mendekat ke Uni Eropa, tetapi dibalas dengan tindakan opresif aparat. Pemerintah Rusia memanfaatkan momen itu dengan dalih khawatir dengan nasib warga etnik Rusia yang mendiami Krimea.
Rusia menduduki Krimea dan melakukan referendum mandiri yang menyatakan bahwa mayoritas warga Krimea ingin bergabung dengan Rusia. Namun, tanpa restu PBB, referendum sebenarnya tidak bisa dianggap sah. Hingga kini, media internasional selalu menggunakan istilah aneksasi ilegal terhadap keberadaan Rusia di Krimea.
Keberadaan Rusia di Krimea dan Sevastopol memperlemah Ukraina dalam banyak aspek. Etnik minoritas macam Tatar merasa terancam dengan keberadaan pemerintah Rusia yang dikenal dengan kebijakan-kebijakan opresifnya.
NGO Freedom House di tahun 2021 ini merilis laporan tentang berbagai pelanggaran HAM. Contohnya, penangkapan aktivis Tatar anti-Rusia tanpa tuduhan jelas serta pemindahan paksa orang-orang yang tidak bersedia mengganti paspor Ukraina dengan Rusia, termasuk pelarangan masuk jurnalis ke wilayah Krimea.
Hingga kini, status Krimea belum jelas. Ukraina melalui Presiden Volodymyr Zelenskiy masih berusaha mencari jalan untuk menuntaskan masalah ini dengan meminta dukungan Amerika Serikat dan Uni Eropa. Di sisi lain, Rusia secara de facto telah mengambil alih Krimea, bahkan kembali menggalakkan imigrasi warga Rusia ke semenanjung tersebut.