nyaman sendiri (Pexels/Igor Starkov)
Saat memulai penelitian, para peneliti tersebut mengatakan bahwa mereka mengacu pada "Teori kebahagiaan sabana". Apa itu?
Teori kebahagiaan sabana mengacu pada paham bahwa kepuasan hidup seseorang tidak hanya didasarkan pada apa yang terjadi di masa kini tetapi juga oleh bagaimana nenek moyang kita mungkin bereaksi di masa sekarang.
Para pakar psikologi evolusioner berpendapat bahwa otak manusia sebagian besar dirancang oleh dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan leluhur kita yang mayoritas adalah pemburu.
Dengan kata lain, tubuh dan otak kita telah berevolusi menjadi pemburu dan pengumpul. Akan tetapi, evolusi tersebut tidak cepat dan belum menyusul kemajuan teknologi dan peradaban manusia.
Para peneliti menjabarkan dua faktor yang membedakan kehidupan modern dan kehidupan zaman purba:
- Kepadatan populasi, dan
- Frekuensi sosialisasi seseorang dengan kawannya.
Sebagai perbandingan, satu desa zaman Neolitikum dapat ditinggali oleh sekitar 150 orang saja. Itulah yang menyebabkan lingkup pertemanan menjadi luas. Sedangkan, di masa modern, densitas populasi mempersulit sosialisasi dan pertemanan.
Oleh karena itu, meskipun manusia masa kini tinggal di lingkungan yang padat populasi, frekuensi sosialisasi antar manusia tidak bertambah. Itulah tanda evolusi otak manusia menurut teori kebahagiaan sabana.
Walaupun peradaban dan evolusi terus maju, otak manusia berevolusi sambil berpegang dengan cara hidup leluhur pemburu-pengumpul kita. Oleh karena itu, kebanyakan orang masa kini akan lebih bahagia dengan hidup dengan berada di sekitar lebih sedikit orang dan menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-teman.