Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
potret logo Red Bull
potret logo Red Bull (unsplash.com/Chris Kursikowski)

Intinya sih...

  • Pengaruh Christian Horner mulai goyah usai meninggalnya Dietrich Mateschitz

  • Zak Brown menganggap Christian Horner sebagai biang masalah politik di F1

  • Kepemimpinan Laurent Mekies disebut akan membawa dinamika yang lebih stabil

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Formula 1 diguncang kabar besar pada Juli 2025 ketika Red Bull Racing secara resmi memecat Christian Horner dari jabatannya sebagai CEO dan team principal. Keputusan ini mengakhiri masa pengabdian Horner selama 2 dekade sejak pertama kali memimpin tim pada 2005 usai Red Bull mengambil alih Jaguar. Meski mengejutkan secara waktu, banyak pihak menilai keputusan ini merupakan konsekuensi dari gejolak politik internal dan penurunan performa Red Bull yang tak lagi bisa ditutup-tutupi.

Di tengah dominasi McLaren dan naiknya tensi antartim, pemecatan Horner menandai pergeseran arah kepemimpinan di tubuh Red Bull, bahkan di panggung F1 secara keseluruhan. Laurent Mekies sebagai penggantinya diyakini membawa pendekatan yang lebih tenang, kolaboratif, dan terbuka terhadap kerja sama lintas tim. Pada saat bersamaan, pemecatan ini membuka ruang refleksi mengenai peran besar Horner dalam membentuk iklim politik yang selama ini mengisi F1 yang penuh intrik, drama, dan konfrontasi yang kerap melewati batas sportivitas.

1. Pengaruh Christian Horner mulai goyah usai meninggalnya Dietrich Mateschitz

Selama 20 tahun terakhir, Christian Horner telah menjelma sebagai figur sentral dalam kiprah Red Bull Racing. Berawal dari pengambilalihan Jaguar oleh Red Bull pada 2005, Horner, yang kala itu baru berusia 31 tahun, langsung dipercaya menjadi team principal termuda dalam sejarah Formula 1. Sejak saat itu, ia berhasil membawa tim dari level medioker menjadi kekuatan dominan, terlebih saat era kejayaan Sebastian Vettel (2010–2013) dan Max Verstappen (2021–2024).

Namun, keberhasilan itu dibangun bukan hanya dari sisi teknis dan strategi balapan, melainkan juga lewat kepiawaian Horner dalam memainkan politik internal. Ia mengandalkan dukungan kuat dari mendiang Dietrich Mateschitz, pemilik Red Bull dari pihak Austria, serta menjalin hubungan dekat dengan Chalerm Yoovidhya, pemegang saham mayoritas Red Bull GmbH dari pihak Thailand. Pengaruhnya begitu kuat, bahkan dalam proses investigasi terhadap tuduhan pelecehan seksual pada 2024. Horner tetap bertahan meski dokumen anonim sempat bocor kepada media dan elite F1.

Pada 2025, performa Red Bull mengalami penurunan di lintasan dan hanya mampu duduk di peringkat keempat klasemen konstruktor setelah mendominasi 2 musim sebelumnya. Kepergian tokoh-tokoh penting, seperti Adrian Newey, Rob Marshall, Jonathan Wheatley, dan Will Courtenay menandakan memburuknya iklim internal Red Bull. Ditambah lagi, ketegangan dengan keluarga Verstappen, terutama ayah Max, membuat posisi Horner makin rapuh. Jos Verstappen secara terbuka memperingatkan tim akan hancur dari dalam jika Horner tetap memimpin.

2. Zak Brown menganggap Christian Horner sebagai biang masalah politik di Formula 1

Selain menjadi arsitek kesuksesan Red Bull, Christian Horner juga salah satu tokoh utama dalam kerasnya politik di balik layar Formula 1. Dalam beberapa tahun terakhir, perannya dalam dinamika antartim makin dipertanyakan banyak pihak, terutama oleh CEO McLaren, Zak Brown. Brown secara terang-terangan menyebut Horner telah melewati batas dalam mempolitisasi isu-isu teknis dan personal.

Salah satu contoh nyata ialah tuduhan tidak berdasar yang diarahkan Horner kepada McLaren terkait penggunaan teknologi pendingin ban yang dianggap ilegal. Meski tuduhan itu tidak terbukti dan dianggap sebagai hasil rekayasa politik, tensi yang dihasilkan menyulut konflik berkepanjangan antara Horner dan Brown. Rivalitas ini bahkan sempat menjadi sorotan dalam serial Netflix Drive to Survive, ketika Horner menyebut Brown dengan kata-kata kasar dan menjadikan isu tersebut sebagai alat framing media.

Terlebih lagi, gaya komunikasi Horner yang penuh drama dan retorika agresif dianggap merusak semangat sportivitas antartim. F1 sebagai olahraga berbasis kecepatan dan kecanggihan teknik justru terjebak dalam narasi villain drama dan manipulasi opini publik. Zak Brown menyatakan, di bawah kepemimpinan Horner, pertemuan antartim terasa sulit dilakukan secara terbuka karena selalu ada ketakutan informasi akan disalahgunakan untuk kepentingan politik Red Bull. Dalam konteks ini, Horner tidak hanya menjadi lawan di lintasan, tetapi juga ancaman bagi stabilitas politik olahraga itu sendiri.

3. Kepemimpinan Laurent Mekies disebut akan membawa dinamika yang lebih stabil

Pengangkatan Laurent Mekies sebagai pengganti Christian Horner disambut positif mayoritas pemangku kepentingan Formula 1. Mekies, yang sebelumnya memimpin Racing Bulls, dikenal memiliki pendekatan lebih tenang, terbuka, dan kooperatif dibanding pendahulunya. Zak Brown menyebut kehadiran Mekies sebagai angin segar yang memungkinkan tim-tim kembali fokus kepada kompetisi di lintasan, bukan adu argumen di media atau ruang rapat Federation Internationale de l'Automobile (FIA).

Dengan Mekies, hubungan antartim mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Brown mengungkapkan, ia bisa duduk bersama dan berdiskusi dengan Mekies secara sehat, sesuatu yang sudah lama tak terjadi ketika Horner masih menjabat. Bahkan, Ferrari dan Mercedes ikut merespons positif perubahan ini, karena membuka kemungkinan kerja sama lintas tim dalam isu-isu strategis seperti regulasi teknis atau transparansi anggaran.

Dalam jangka panjang, iklim politik yang sehat akan membawa efek domino bagi ekosistem F1. Stabilitas politik bisa meningkatkan kepercayaan sponsor, memperbaiki citra publik olahraga ini, dan yang terpenting bisa membantu menjaga para talenta terbaik seperti Max Verstappen untuk tetap bertahan. Dalam situasi yang lebih damai, F1 bisa kembali fokus terhadap balapan, pengembangan teknologi, dan pertarungan di sirkuit, bukan pertikaian di ruang konferensi atau panggung media.

Pemecatan Christian Horner menandai berakhirnya satu fase penting dalam perjalanan Red Bull di Formula 1. Dengan kepemimpinan baru, F1 memiliki kesempatan untuk membangun lingkungan yang lebih stabil dan kondusif bagi semua pihak yang terlibat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team