Putra pebasket LeBron James, Bronny, pernah mengalami henti jantung yang disebabkan kelainan struktur jantung. (instagram.com/bronny)
Temuan menarik lain juga ditemukan dalam riset yang ditulis Bassi dkk berjudul "Sudden Cardiac Arrest in Basketball and Soccer Stadiums, the Role of Automated External Defibrillators: A Review" dalam jurnal Arrhythm Electrophysiol Review. Spesifik dalam pertandingan sepak bola dan bola basket, mayoritas penyebab henti jantung adalah kondisi struktur jantung yang abnormal. Misalnya saja hypertrophic cardiomyopathy (penebalan dinding bilik jantung sebelah kiri), bicuspid aortic valve (hanya punya dua katup jantung yang normalnya tiga), dilated cardiomyopathy (pembesaran bilik jantung yang menyebabkan jantung kesulitan berkontraksi), dan lain sebagainya.
Artinya, ada faktor genetik alias bawaan lahir yang berperan dalam peningkatan risiko henti jantung. Studi tersebut bahkan secara spesifik menemukan bahwa ras ikut berpengaruh dalam peningkatan risiko. Sejauh ini, studi secara global menemukan bahwa atlet ras kulit hitam (keturunan Afrika) memiliki risiko paling tinggi mengalami henti jantung. Atlet asal Amerika Selatan dan Afrika pula yang punya angka selamat terendah.
Dari segi gender, menurut simpulan riset Weizman dkk yang dipublikasikan Journal of the American College of Cardiology, atlet laki-laki lebih rentan mengalami henti jantung ketimbang perempuan. Meski begitu, riset tersebut menggunakan sampel terbatas, yakni populasi atlet di kawasan Uni Eropa. Mereka juga belum bisa menemukan penjelasan patofisiologi (mekanisme terbentuknya sebuah penyakit) mengenai tendensi tersebut.