Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi Ferarri di Formula 1
ilustrasi Ferarri di Formula 1 (pexels.com/Jonathan Borba)

Intinya sih...

  • Perubahan regulasi dan transisi ke era mobil hybrid

  • Kompetisi yang semakin ketat

  • Terlalu sering membuat kesalahan strategi saat balapan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Ferrari terakhir kali meraih gelar Juara Dunia Konstruktor Formula 1 pada musim 2008. Sejak momen itu, tim berlogo kuda jingkrak ini terus berusaha kembali ke posisi puncak, tetapi hasil akhirnya selalu belum cukup untuk mengalahkan rival-rivalnya. Padahal, Ferrari beberapa kali memiliki mobil yang cukup kompetitif dan pembalap yang mampu bersaing di barisan depan.

Banyak orang bertanya-tanya mengapa tim sebesar Ferrari bisa puasa gelar juara konstruktor di begitu lama. Jawabannya tidak sesederhana “mobilnya kurang cepat”. Ada banyak faktor yang saling berkaitan dan membuat Ferrari sulit kembali menjadi yang terbaik di Formula 1. Berikut penjelasan sederhana yang bisa dipahami siapa saja.

1. Perubahan regulasi dan transisi ke era mobil hybrid

potret mobil Formula 1 Ferrari (pexels.com/Jonathan Borba)

Formula 1 mengalami perubahan besar pada 2014 dengan diperkenalkannya mesin V6 turbo hybrid. Regulasi ini mengubah konsep performa mobil secara menyeluruh, mulai dari manajemen energi, efisiensi bahan bakar, hingga kompleksitas sistem power unit. Tim yang mampu beradaptasi dapat langsung memetik keuntungan luar biasa dengan meraih kemenangan.

Ferrari tidak sepenuhnya gagal, tetapi mereka tertinggal dalam fase awal transisi. Mercedes dan Red Bull justru muncul sebagai tim yang paling siap secara teknis dan mendominasi di barisan depan di setiap balapan. Kesenjangan ini menciptakan efek jangka panjang karena tim yang unggul lebih cepat juga memiliki data dan fondasi pengembangan lebih kuat untuk musim-musim berikutnya.

Selain itu, adaptasi Ferrari terlihat tidak selalu konsisten. Beberapa musim menunjukkan peningkatan yang baik, namun sering kali tidak dapat dipertahankan karena regulasi yang terus mengalami penyesuaian terutama adanya perubahan lagi pada musim 2022. Akibatnya, Ferrari harus cepat beradaptasi dengan regulasi baru yang terus diperbarui untuk terus mengejar ketertinggalan dari tim-tim Formula 1 lainnya.

2. Kompetisi yang semakin ketat

Mobil Formula 1 Ferrari sedang berjalan di Sirkuit Interlagos, Brasil. (pexels.com/Jonathan Borba)

Setelah era kejayaan Ferrari berakhir, Formula 1 memasuki fase baru dengan dominasi tim lain. Mercedes mendominasi selama hampir satu dekade, lalu disusul oleh Red Bull dengan performa luar biasa di bawah tangan Max Verstappen dan McLaren di sepanjang musim 2025.

Ferrari tidak hanya menghadapi satu musuh, tetapi beberapa tim papan atas sekaligus. Ketika mereka mulai mendekati Mercedes, Red Bull justru muncul dengan cepat melalui Max Verstappen, begitu pula dengan McLaren bersama Lando Norris dan Oscar Piastri pada 2025. Hal ini membuat Ferrari tidak memiliki ruang cukup untuk membangun dominasi seperti pada era Michael Schumacher.

Kondisi ini menunjukkan bahwa Ferrari tidak terlalu buruk pada beberapa musim terakhir. Mereka hanya berada di tingkatan level yang berbeda dengan tim-tim kompetitif lain seperti Mercedes, Red Bull, dan McLaren. Selain itu, masalah konsistensi juga menjadi pembeda lainnya antara Ferrari dan tim yang akhirnya menjadi juara dua konstruktor sejak musim 2008.

3. Terlalu sering membuat kesalahan strategi saat balapan

tim Ferrari di F1 (commons.wikimedia.org/Liauzh)

Ferrari beberapa kali kehilangan kemenangan bukan karena mobil yang lambat. Tim kuda jingkrak ini lebih banyak kehilangan momentum untuk meraih hasil bagus akibat keputusan strategi yang kurang tepat. Kesalahan dalam menentukan waktu pit stop, pemilihan ban, atau respon terhadap safety car sering berujung pada hilangnya poin penting.

Dalam persaingan konstruktor, setiap poin sangat berharga. Kesalahan kecil seperti strategi yang terlambat bisa mengubah posisi podium menjadi finis di luar tiga besar. Hal ini berdampak signifikan terhadap perolehan total poin musim.

Salah satunya, Ferrari membuat keputusan strategi yang buruk pada GP Hungaria 2025. Saat itu, mereka memanggil Charles Leclerc untuk mengganti ban menjadi kompon hard pada pit stop keduanya meski suhu trek rendah sehingga ban menjadi sulit bekerja secara optimal. Hasilnya, Leclerc kehilangan kecepatan dan gagal memanfaatkan posisi start pole position dengan harus puas finis di posisi 4.

4. Masalah reliabilitas dan daya tahan mobil saat di lintasan

potret mobil F1 Ferrari (pexels.com/Adriaan Greyling)

Ferrari juga mengalami periode di mana performa tinggi tidak diiringi reliabilitas yang sepadan. Beberapa balapan mobil Ferrari kerap mengalami kegagalan mesin atau masalah teknis pada komponen tertentu. Hal ini mengakibatkan tim asal Italia kehilangan potensi banyak poin yang lebih besar.

Ferrari sempat mengalami overheating pada rem di Grand Prix Singapura 2025 yang sangat parah. Masalah tersebut terjadi terutama pada mobil Lewis Hamilton. Hamilton bahkan sampai harus melakukan strategi life and coast (mengurangi tekanan saat pengereman) agar mobil bisa bertahan sampai akhir balapan.

Tim teknis Ferrari juga mengakui bahwa pada balapan itu mereka salah dalam simulasi pendinginan rem dan terlalu agresif. Kesalahan tersebut yang menjadi cikal bakal munculnya masalah pada sistem pengereman.

Ferrari belum kembali menjadi juara dunia konstruktor sejak 2008 bukan karena satu kesalahan tunggal. Penyebabnya bukan hanya soal mobil tidak cepat, melainkan akibat akumulasi dari berbagai faktor. Perubahan regulasi, dominasi rival, hingga kesalahan strategi menjadi masalah kompleks yang membuat Ferrari tidak bisa lagi merajai Formula 1.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team