Timnas Israel saat lakoni laga persahabatan dengan Hungaria pada Juni 2024. (instagram.com/mlsztv)
Israel adalah entitas politik yang sejak lama dapat banyak privilese. Mulai dari tiba-tiba dapat hak dan dukungan internasional untuk mendirikan negara di wilayah yang dahulunya dikenal sebagai British Mandate of Palestine sampai keikutsertaan tim sepak bola mereka dalam federasi sepak bola Eropa, UEFA. Padahal, secara geografis, mereka murni merupakan bagian dari Asia. Tidak seperti Kazakhstan dan Turki yang dikategorikan negara transkontinental (terletak di antara dua benua sekaligus).
Israel memang pernah jadi bagian dari asosiasi sepak bola Asia, AFC, pada 1950-an. Namun, kehadiran mereka sebenarnya mengundang penolakan dari negara-negara anggota lain. Terhitung negara-negara anggota AFC melakukan boikot dengan menolak melakoni pertandingan melawan Israel di Kualifikasi Piala Dunia 1958, Piala Asia 1964, dan Asian Games 1974. Pada 1974, akibat kemelut itu AFC pun menggelar pemungutan suara soal keanggotaan Israel. Hasilnya, sebagian besar memilih untuk mendepak negara itu dari federasi.
Sempat berpindah ke zona Oseania, Israel berhasil melakukan diplomasi jitu yang memungkinkan mereka jadi bagian dari UEFA. Sebagai salah satu asosiasi sepak bola regional terbaik di dunia saat ini, Israel benar-benar diuntungkan dengan statusnya itu. Mereka berhak berpartisipasi dalam berbagai kompetisi bergengsi seperti Euro dan UEFA Nations League tanpa harus menghadapi boikot.
Normalisasi statusnya sebagai negara berdaulat pun didukung FIFA. Dilansir Human Rights Watch, pada 2016, Asosiasi Sepak Bola Palestina (PFA) pernah melontarkan keberatan kepada FIFA karena membiarkan Asosiasi Sepak Bola Israel (IFA) melakukan kegiatan operasional di wilayah permukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat. Sebagai konteks, permukiman Yahudi di Tepi Barat dinyatakan ilegal dan melanggar hukum internasional oleh PBB. Namun, tak ada yang berusaha mencegah Israel melakukan perluasan pemukiman, bahkan dengan cara-cara yang tak etis sekalipun.