Selain transformasi taktis, Thomas Frank juga membawa perubahan budaya yang signifikan di Tottenham Hotspur. Ia mengundang seluruh staf klub, termasuk nonteknis, seperti tim katering dan kebersihan, dalam pertemuan tim untuk membangun rasa kebersamaan. Pendekatan inklusif ini menegaskan filosofi semua elemen klub memiliki peran setara dalam perjalanan tim.
Di lapangan, fleksibilitas Frank terlihat jelas. Spurs mampu bermain direct football dengan umpan panjang, melakukan pressing tinggi pada momen tertentu, atau bertahan dengan blok rendah melawan tim kuat seperti PSG. Trio gelandang Joao Palhinha, Rodrigo Bentancur, dan Pape Sarr menunjukkan perpaduan energi, agresivitas, dan kedisiplinan. Palhinha, misalnya, beberapa kali memutus serangan Bradley Barcola di area berbahaya dan memberi perlindungan ekstra bagi lini belakang.
Pemain anyar, Mohammed Kudus, juga memberikan dimensi baru sebagai kreator serangan. Ia piawai menahan bola di bawah tekanan, memenangkan pelanggaran, dan membuka ruang bagi rekan setim. Namun, saat ia ditarik keluar pada menit ke-80, Spurs kehilangan inisiator utama, dan PSG memanfaatkan situasi untuk menekan lebih dalam hingga mencetak dua gol penyeimbang. Meski demikian, mentalitas kolektif dan tekad untuk beradaptasi di bawah Frank memberi harapan Tottenham akan berkembang menjadi tim yang lebih tangguh dan kompetitif pada 2025/2026.
Tottenham Hotspur memang gagal mengangkat trofi UEFA Super Cup 2025, tetapi laga ini menggambarkan arah baru yang jelas di bawah Thomas Frank. Dengan kombinasi taktik adaptif, kekuatan set-piece, dan budaya tim yang solid, Spurs memiliki fondasi kuat untuk menghadapi musim yang makin kompetitif.