Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Anfield, markas Liverpool FC
potret Anfield, markas Liverpool FC (unsplash.com/Irene Berral Hens)

Intinya sih...

  • Isak belum mampu memberi dampak signifikan sebagai striker termahal Premier League

  • Kebugaran buruk dan koneksi yang belum terbangun menjadi kendala utama Isak di Liverpool

  • Isak juga merupakan korban dari kekacauan sistemik Liverpool, namun kontribusinya masih minim

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Liverpool lagi-lagi harus dipermalukan di depan publik Anfield, Liverpool, Inggris, setelah kalah 0-3 dari Nottingham Forest pada pekan ke-12 English Premier League (EPL) 2025/2026, Sabtu (22/11/2025). Ini menjadi kekalahan kedua mereka di kandang musim ini, dengan sebelumnya dikalahkan Manchester United pada pekan ke-8. Hasil tersebut membuat atmosfer di Anfield makin muram, apalagi performa individu beberapa pemain kunci tidak menunjukkan kontribusi signifikan.

Di tengah krisis tersebut, sorotan besar tertuju kepada Alexander Isak, striker termahal dalam sejarah Premier League yang belum mampu memberi dampak berarti. The Reds berharap Isak akan meningkatkan kualitas lini depan mereka untuk mempertahankan gelar juara, tetapi performanya justru memunculkan tanda tanya besar. Kini, publik mulai mempertanyakan apakah Isak adalah solusi yang dijanjikan atau justru gejala dari masalah yang jauh lebih besar.

1. Alexander Isak empat kali dipercaya sebagai starter, tetapi semuanya berakhir dengan kekalahan

Alexander Isak datang dengan label sebagai pemain termahal Premier League senilai 125 juta pound sterling atau setara Rp2,733 triliun. Ini sebuah angka yang diharapkan bisa langsung dikonversi dengan hasil instan di lapangan. Namun, apa yang terjadi justru berbanding terbalik dengan harapan awal klub dan suporter.

Awal karier Isak di Liverpool lebih menyerupai mimpi buruk daripada momentum kebangkitan. Dari 8 laga, ia hanya mampu mencetak 1 gol. Itu pun di Carabao Cup 2025/2026 melawan Southampton. Lebih mengenaskannya, The Reds menelan 4 kekalahan ketika Isak 4 kali dipercaya sebagai starter. Ia juga belum pernah tampil penuh selama 90 menit, sementara kontribusinya di lapangan sangat minim.

Start buruk ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang apakah Liverpool sebenarnya membeli pemain yang siap pakai atau sosok yang masih membutuhkan rekonstruksi besar. Situasi kian memperumit keadaan karena Liverpool sendiri sedang berada dalam periode terburuk mereka selepas era Juergen Klopp. Mereka tumbang 6 kali dalam 7 laga di liga, rapuh dalam bertahan, dan kehilangan karakter dominan yang pernah membuat mereka menakutkan.

Harga yang begitu tinggi, tetapi tidak diimbangi performa sepadan, membuat banyak pihak mulai meragukan nilai rekrutmennya. Sebagian pendukung bahkan melihat Isak tidak memberi dampak positif bagi tim. Dalam pandangan mereka, kehadirannya justru menambah parah krisis yang sedang dialami Liverpool pada 2025/2026.

2. Kebugaran dan koneksi yang belum terbangun menjadi kendala utama Alexander Isak di Liverpool

Masalah utama Alexander Isak terlihat sejak hari pertama datang ke Liverpool. Sang striker melewatkan seluruh pramusim 2025 bersama Newcastle United karena memaksakan kepindahannya, sehingga tiba dengan kondisi fisik yang jauh dari ideal. Liverpool menerima pemain yang belum siap secara fisik maupun ritme permainan. Arne Slot bahkan mengaku harus memaksakan menit bermainnya meski pemain lain lebih bugar.

Dampak kebugaran yang buruk tampak jelas dalam tiap penampilannya. Isak jarang melakukan sprint, enggan melakukan pressing, dan kalah dalam banyak duel. Ini kontras dengan profil striker eksplosif sebagaimana yang telah ia tunjukkan saat masih berseragam Newcastle United. Menurut The Athletic, ketajamannya juga menghilang. Ini terlihat dari expected goals (xG) rendah di angka 1,7, peluang berkualitas buruk, serta penyelesaian akhir yang tidak meyakinkan.

Isak telah melewatkan peluang emas 1 lawan 1 kala melawan Manchester United. Ia beberapa kali gagal memanfaatkan peluang sundulan pada laga-laga berikutnya. Banyak tembakannya tidak tepat sasaran, lemah, dan mudah diamankan kiper lawan. Ketidakefektifan ini makin memperjelas ritme bermainnya belum kembali.

Selain itu, chemistry permainan dengan rekan-rekan barunya juga belum begitu nyetel. Mohamed Salah dan Cody Gakpo merupakan winger finisher daripada kreator, sehingga suplai bola kepada Isak sangat terbatas. Koneksinya dengan Florian Wirtz memang sempat menunjukkan tanda-tanda menjanjikan, tetapi jarang terjadi karena masalah rotasi dan cedera.

Contoh pola yang kerap gagal adalah skema Isak turun menjemput bola dalam fase transisi sebelum berlari mencari ruang belakang bek lawan. Umpan akhir dari Salah atau lini tengah sering tidak akurat, yang membuat peluang yang seharusnya jadi peluang yang lebih besar justru hilang percuma. Ketidakselarasan ini makin terlihat karena Liverpool sedang berada dalam kondisi struktural yang tidak stabil.

Berbeda dari musim sebelumnya, musim 2025/2026 memperlihatkan Liverpool yang tidak dominan. Mereka mudah kebobolan lebih dulu sehingga lawan dapat bertahan lebih dalam tanpa risiko. Ketika hal tersebut terjadi, seorang striker akan kesulitan mendapatkan servis. Dalam situasi ini, Isak bukan hanya tidak mampu mencetak gol, melainkan juga tidak terlihat sebagai ancaman sama sekali.

3. Selain minim kontribusi, Alexander Isak juga merupakan korban dari kekacauan sistemik Liverpool

Situasi Alexander Isak membuka dua sudut pandang berbeda mengenai kontribusinya dalam krisis Liverpool. Pertama, ada yang menilai Isak sendiri merupakan masalahnya. Ia datang dalam kondisi tidak bugar, kurang agresif dalam pressing, tidak efisien dalam penyelesaian akhir, dan tidak menunjukkan karakter seorang striker seharga 125 juta pound sterling. Dalam beberapa pertandingan, The Reds bahkan seperti bermain dengan sepuluh pemain karena minimnya kontribusi sang striker.

Kedua, Isak juga bisa dipandang sebagai korban dari kekacauan sistemik Liverpool. Arne Slot kehilangan struktur taktik, ritme permainan, dan konsistensi karena banyak pemain penting cedera. Serangan Liverpool tidak setajam musim lalu. Beberapa pemain inti seperti Ibrahima Konate tampil jauh di bawah standar, sementara Florian Wirtz harus menepi karena cedera.

Penurunan kualitas kolektif ini memengaruhi performa Isak. Tanpa servis yang konsisten, seorang striker kerap terlihat tidak efektif, terlepas dari kemampuan individunya. Hal ini mengingatkan pada bagaimana sejumlah striker top pernah terlihat gagal ketika masuk ke tim yang sedang tidak stabil.

Situasi bertambah kompleks karena Hugo Ekitike tampil lebih baik pada awal musim dengan mencetak 5 gol dalam 8 laga awal. Perbandingan ini memicu kritik terhadap keputusan Liverpool membeli Isak, terutama mengingat profil permainan keduanya tidak terlalu berbeda. Dengan jadwal padat yang menanti Liverpool dalam 3 pekan ke depan, Slot kemungkinan besar tetap memaksa Isak bermain demi membangun kembali kesiapan fisik saat bertanding. Namun, keputusan ini bisa memperburuk tekanan terhadap seluruh tim.

Kesimpulan sementara menunjukkan, Alexander Isak belum menjadi penyebab utama krisis Liverpool, tetapi juga tidak memberikan kontribusi yang membantu mengangkat tim dari keterpurukan. Jika tren ini terus berlanjut, narasi tentang dirinya bisa berubah dari butuh waktu beradaptasi menjadi kesalahan transfer terbesar Liverpool pada era Fenway Sports Group.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team