Keras kepala pelatih jelas berdampak langsung kepada hasil akhir. Ruben Amorim di Manchester United hanya meraih 8 kemenangan dalam 31 laga Premier League, yang menempatkan klub dalam tekanan besar dari publik dan media. Begitu pula Andrea Pirlo di Juventus yang gagal mempertahankan gelar juara Serie A Italia, meski berhasil meraih Coppa Italia dan mencatat kemenangan impresif melawan FC Barcelona di Liga Champions Eropa 2020/2021. Dalam konteks jangka pendek, keras kepala sering berujung kepada hasil buruk dan pemecatan.
Namun, di sisi lain, ideologi bisa meninggalkan warisan. Pep Guardiola telah membentuk generasi pelatih baru, seperti Mikel Arteta dan Enzo Maresca, yang membawa variasi positional play ke tim masing-masing. Begitu pula pengaruh filosofi Maurizio Sarri, Roberto De Zerbi, hingga Andrea Pirlo yang memperkaya gaya sepak bola Italia, walaupun hasil di papan skor tidak selalu berpihak kepada mereka. Identitas yang ditinggalkan pelatih keras kepala seringkali lebih abadi dibanding sekadar gelar juara jangka pendek.
Menjadi pelatih keras kepala ibarat pedang bermata dua. Ia bisa mempercepat kejatuhan seorang pelatih, seperti yang dialami Amorim atau Pirlo. Namun, keras kepala juga bisa menjadikan mereka legenda ideologi, seperti Guardiola yang merevolusi cara dunia melihat sepak bola. Dalam dunia kepelatihan, harga diri dan filosofi kerap bernilai sama mahalnya dengan kemenangan.
Keras kepalanya para pelatih memperlihatkan kontradiksi antara hasil instan dan warisan jangka panjang. Mereka bisa jatuh karena kegigihan mempertahankan ide, tetapi jejak filosofinya akan tetap mewarnai sepak bola lintas generasi.