Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
potret pelatih sepak bola
potret pelatih sepak bola (unsplash.com/@thwhoai)

Kekalahan 0-3 Manchester United atas Manchester City pada derbi Manchester, Minggu (14/9/2025), memunculkan banyak reaksi. Salah satu yang paling disorot adalah pernyataan Pelatih Ruben Amorim usai laga kepada media soal strateginya. Amorim menegaskan, dirinya tidak akan mengubah sistem 3-4-3 meski rentetan hasil buruk terus membayangi The Red Devils.

Pernyataan itu memicu diskusi lebih luas tentang keras kepalanya para pelatih dengan ideologi permainan mereka. Dalam sepak bola modern, filosofi seringkali lebih dari sekadar taktik. Ia menjelma sebagai identitas pribadi sang pelatih. Namun, ketika hasil di lapangan tidak sejalan dengan keyakinan tersebut, muncul dilema antara mempertahankan prinsip atau beradaptasi dengan realitas.

1. Filosofi kepelatihan menjadi hal yang membentuk identitas sang pelatih

Banyak pelatih besar lahir dari keyakinan kuat terhadap satu cara bermain. Pep Guardiola menjadi contoh paling ikonis dengan juego de posicion, sebuah filosofi yang mengutamakan penguasaan ruang lewat passing cepat, pressing tinggi, serta struktur posisi yang ketat. Filosofi ini lahir dari warisan Johan Cruyff dan berkembang menjadi ciri khas tim-tim asuhan Guardiola di FC Barcelona, Bayern Munich, hingga Manchester City.

Andrea Pirlo pun menunjukkan sikap serupa. Ia secara tegas menyatakan lebih memilih kalah dengan caranya sendiri ketimbang bertahan penuh sepanjang pertandingan. Saat menukangi Juventus, Pirlo menekankan permainan membangun serangan dari belakang, penguasaan bola, dan pressing tinggi meski hasilnya tidak selalu konsisten. Baginya, bermain indah dan identitas permainan lebih penting daripada sekadar kemenangan pragmatis.

Ruben Amorim bahkan bisa dibilang lebih ekstrem. Usai kekalahan Manchester United dari Manchester City, ia menolak segala wacana perubahan formasi dengan mengatakan, “jika tim menuntut saya mengubah permainan, maka lebih baik ganti pelatihnya”. Rekornya memang buruk, hanya 8 kemenangan dari 31 laga English Premier League (EPL), tetapi Amorim tetap bersikukuh dengan prinsip 3-4-3 yang pernah mengantarnya meraih berbagai trofi kejuaraan di Portugal. Sikap keras kepala ini memperlihatkan bagaimana filosofi bagi sebagian pelatih adalah harga mati, kendati konsekuensinya berisiko bagi karier mereka.

2. Pada akhirnya, idealisme pelatih selalu diuji oleh hasil akhir di lapangan

Jose Mourinho, dalam sebuah pernyataan yang dikutip The Athletic, menyindir para pelatih yang rela ‘mati’ demi ide sebagai pujangga yang jarang mengoleksi trofi kejuaraan. Kritik ini menggambarkan bahaya dogma ketika ideologi dijunjung lebih tinggi daripada hasil nyata. Bagi Mourinho, sepak bola merupakan bisnis hasil, bukan panggung eksperimen taktis tanpa ujung.

Konsep ini beririsan dengan perdebatan antara rigid tactics dan dynamic strategy. Rigid tactics memang memberi stabilitas dan konsistensi, seperti formasi 4-4-2 yang berulang kali dilatih untuk meminimalkan kesalahan. Namun, strategi kaku mudah hancur saat menghadapi perubahan situasi. Tottenham Hotspur era Pelatih Ange Postecoglou dengan garis pertahanan tinggi jadi contoh nyata. Walaupun sukses menjuarai Liga Europa 2024/2025, performa Spurs di Premier League musim itu tercatat sebagai yang terburuk dalam 50 tahun terakhir.

Sebaliknya, Pep Guardiola menjadi contoh pelatih yang mampu menjaga prinsip tanpa menutup diri terhadap perubahan. Ia bereksperimen dengan peran bek sayap yang masuk ke lini tengah yang dikenal sebagai inverted fullback, penggunaan pivot tunggal yang fleksibel, serta variasi posisi winger untuk menyesuaikan lawan. Kemampuan beradaptasinya membuat Guardiola bertahan lebih lama di level tertinggi, meski kini pun muncul tanda-tanda era dominasinya mulai goyah.

3. Keras kepala bisa menjatuhkan karier pelatih, tetapi juga meninggalkan warisan

Keras kepala pelatih jelas berdampak langsung kepada hasil akhir. Ruben Amorim di Manchester United hanya meraih 8 kemenangan dalam 31 laga Premier League, yang menempatkan klub dalam tekanan besar dari publik dan media. Begitu pula Andrea Pirlo di Juventus yang gagal mempertahankan gelar juara Serie A Italia, meski berhasil meraih Coppa Italia dan mencatat kemenangan impresif melawan FC Barcelona di Liga Champions Eropa 2020/2021. Dalam konteks jangka pendek, keras kepala sering berujung kepada hasil buruk dan pemecatan.

Namun, di sisi lain, ideologi bisa meninggalkan warisan. Pep Guardiola telah membentuk generasi pelatih baru, seperti Mikel Arteta dan Enzo Maresca, yang membawa variasi positional play ke tim masing-masing. Begitu pula pengaruh filosofi Maurizio Sarri, Roberto De Zerbi, hingga Andrea Pirlo yang memperkaya gaya sepak bola Italia, walaupun hasil di papan skor tidak selalu berpihak kepada mereka. Identitas yang ditinggalkan pelatih keras kepala seringkali lebih abadi dibanding sekadar gelar juara jangka pendek.

Menjadi pelatih keras kepala ibarat pedang bermata dua. Ia bisa mempercepat kejatuhan seorang pelatih, seperti yang dialami Amorim atau Pirlo. Namun, keras kepala juga bisa menjadikan mereka legenda ideologi, seperti Guardiola yang merevolusi cara dunia melihat sepak bola. Dalam dunia kepelatihan, harga diri dan filosofi kerap bernilai sama mahalnya dengan kemenangan.

Keras kepalanya para pelatih memperlihatkan kontradiksi antara hasil instan dan warisan jangka panjang. Mereka bisa jatuh karena kegigihan mempertahankan ide, tetapi jejak filosofinya akan tetap mewarnai sepak bola lintas generasi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorAtqo Sy