pemain RC Strasbourg (instagram.com/rcsa)
Kasus Strasbourg yang hanya mencicip kejayaan selama semusim mungkin bisa dianalogikan dengan middle income trap. Istilah ekonomi ini dideskripsikan Aiyar, dkk. dalam jurnal IMF berjudul "Growth Slowdowns and the Middle-Income Trap" sebagai fenomena stagnasi pendapatan yang banyak melanda emerging countries.
Mereka mengalami peningkatan pendapatan signifikan pada era tertentu, tetapi kemudian tidak lagi bisa meningkatkan angka tersebut setelah beberapa waktu. Akhirnya, mereka gagal mencapai standar negara dengan pendapatan tinggi. Biasanya disebabkan mereka terjebak di zona nyaman sebagai negara manufaktur yang minim inovasi.
Di sektor sepak bola global, tim-tim asal Asia dan Afrika sering dianalogikan sebagai fenomena jebakan middle income. Merujuk tulisan Krause dan Szymanski yang berjudul "Convergence vs. the Middle Income Trap: The Case of Global Soccer", negara-negara Benua Asia dan Afrika berada di fase ini karena kurangnya inisiatif, inovasi, dan akses.
Mereka tidak memiliki stabilitas liga dan sistem regenerasi pemain muda sebaik Eropa dan Amerika Latin. Ditambah minimnya kohesi regional yang membuat pemain sepak bola di Asia dan Afrika tidak memiliki pengalaman sebanyak atlet yang bermain di Eropa dan Amerika Latin.
Di ranah yang lebih sempit, middle income trap bisa diamati terjadi pada klub dengan pendapatan menengah seperti Strasbourg. Seperti yang bisa kita lihat, Strasbourg yang meski diuntungkan dengan kesempatan bermain reguler dengan tim-tim terbaik Eropa dan dapat eksposur besar karena berada di Ligue 1, ternyata tidak bisa mendobrak dominasi dan tradisi menang tim-tim besar.
Sama dengan analogi sebelumnya, mereka terjebak di zona nyaman dengan tidak melakukan terobosan-terobosan inovatif selain cara instan seperti mengganti pelatih. Padahal, sebagai klub medioker dengan pendapatan tak seberapa, pemberdayaan akademi merupakan salah satu investasi yang menjanjikan.
Kesuksesan Benfica dan Brighton Hove & Albion mengoptimasi akademi mereka kini berbuah hasil. Meski ditinggalkan pemain-pemain bintangnya, mereka tetap bisa bertengger di papan atas liga domestik karena tak kesulitan mencari pemain pengganti. Secara pendapatan pun mereka dapat meraup profit yang lumayan dari menjual pemain jebolan akademi yang berhasil bersinar.
Bagaimana menurutmu? Bisakah Strasbourg dikategorikan berada dalam jebakan middle income?