Inggris vs Italia. (antaranews.com/foto)
Jauh sebelum gelaran Piala Eropa 2020, Italia pernah dilanda krisis hebat. Mereka jadi negara Eropa pertama yang paling parah dihantam oleh COVID-19. Bahkan, sejauh ini Italia mencatat kasus kematian terbanyak ketiga akibat COVID-19, yakni 127.788 jiwa.
Bahkan, pada pertengahan 2020, sistem kesehatan Italia kolaps. Wilayah Lombardia jadi yang daerah paling parah yang terhantam pandemik COVID-19. Rumah sakit penuh, tenaga kesehatannya bertumbangan, plus mereka juga dilanda krisis ekonomi.
Italia pun mencatatkan resesi terburuk mereka pada 2020, tertinggi setelah mereka kalah di Perang Dunia II pada 1945 silam. Di tengah krisis seperti ini, sepak bola Italia tetap berusaha bergerak. Serie A yang sempat terhenti terus dilanjutkan, demi memutar roda ekonomi masyarakat.
Terlepas dari semua krisis yang menimpa, Italia tetap melangkah ke Piala Eropa 2020. Di bawah asuhan Roberto Mancini, lagi-lagi Italia menunjukkan penampilan ciamik. Bahkan, Italia versi Mancini ini lebih agresif dibandingkan Italia-Italia sebelumnya.
Italia tidak lagi jadi tim yang hanya mengandalkan pertahanan semata. Mereka menjelma jadi tim dengan versi yang lebih modern. Italia sekarang berani menerapkan pressing agresif, garis pertahanan tinggi, plus permutasi posisi yang apik.
Dengan gaya main macam ini, Italia menggebrak di Piala Eropa 2020. Lawan-lawan kuat macam Belgia, Spanyol, Turki, dan Swiss, sukses mereka taklukkan. Tidak seperti 2012 silam, cerita berakhir manis untuk Italia di ajang ini karena mereka sukses jadi juara.
Di babak final, diwarnai teror dari fans yang memadati Wembley, Italia menang atas Inggris lewat adu penalti. Krisis memang menerpa mereka pada 2020, tetapi itu bukan jadi jalan untuk berpasrah diri. Italia memilih bangkit dan menjadikan Piala Eropa 2020 sebagai pijakannya.