Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
potret trofi Piala Dunia
potret trofi Piala Dunia (unsplash.com/Fauzan Saari)

Intinya sih...

  • Cape Verde memuncaki Grup D Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Afrika

  • Timnas Cape Verde terdiri atas pemain diaspora yang berasal dari enam negara berbeda

  • Cape Verde mengombinasikan filosofi permainan dengan nilai hidup masyarakat mereka

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Cape Verde menulis sejarah baru dalam sepak bola dunia. Negara kepulauan di barat Afrika itu resmi memastikan tiket ke Piala Dunia 2026 setelah menaklukkan Eswatini dengan skor 3-0 di Praia, ibukota Cape Verde, pada 13 Oktober 2025. Kemenangan tersebut menjadi puncak dari perjalanan panjang, penuh mimpi, dan keyakinan sebuah bangsa kecil untuk menembus batasnya.

Euforia di Estadio Nacional de Cabo Verde malam itu menjadi simbol kebanggaan nasional. Pemerintah Cape Verde bahkan menetapkan setengah hari libur agar seluruh warga dapat menyaksikan laga bersejarah ini secara langsung. Dalam satu momen, Cape Verde bukan lagi nama asing di peta sepak bola dunia. Ia sekaligus wujud nyata tekad dan kebersamaan dapat melahirkan keajaiban.

1. Cape Verde memuncaki Grup D Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Afrika mengalahkan Kamerun

Cape Verde merupakan negara kecil yang terdiri dari sepuluh pulau di tengah Samudra Atlantik, sekitar 400 mil dari pantai Afrika Barat. Populasinya hanya sekitar 525.000 jiwa, yang menjadikannya negara terkecil kedua yang pernah lolos ke Piala Dunia setelah Islandia pada 2018. Sejak merdeka dari Portugal pada 1975, negara ini berjuang mengukir identitas dan prestasi di dunia olahraga.

Perjalanan menuju Piala Dunia 2026 menjadi puncak dari kerja keras panjang mereka. Cape Verde memastikan tempat pada putaran final setelah menundukkan Eswatini dengan skor 3-0 lewat gol Dailon Livramento, Willy Semedo, dan Stopira. Sebelumnya, kemenangan 1-0 atas Kamerun di kandang pada September 2025 menjadi momen penting yang menempatkan mereka di puncak Grup D. Kemenangan ini juga sebagai pembalasan atas kekalahan 1-4 pada pertemuan pertama.

Suasana di Praia malam itu menggambarkan kebersamaan yang langka. Pemerintah memberi separuh hari libur agar masyarakat bisa menyaksikan laga penentuan. Stadion penuh sesak, lagu kebangsaan menggema, dan seluruh kota merayakan keberhasilan tim nasional berjuluk Blue Sharks ini.

Namun, pencapaian ini tidak datang begitu saja. Di bawah tangan dingin Pelatih Pedro “Bubista” Brito, Cape Verde membangun fondasi permainan yang stabil dan efektif. Bubista yang telah menangani Timnas Cape Verde sejak 2020 ini menanamkan prinsip kerja keras, organisasi yang rapi, dan solidaritas tanpa pamrih. Kemenangan atas Eswatini menjadi klimaks dari 10 laga kualifikasi yang menghasilkan 7 kemenangan, 2 keimbangan, dan 1 kekalahan.

2. Timnas Cape Verde terdiri atas pemain diaspora yang berasal dari enam negara berbeda

Salah satu keunikan terbesar Cape Verde adalah keragaman timnya. Dilansir The Athletic, dari 25 pemain yang memperkuat skuad, semuanya bermain di 25 klub berbeda di 16 negara. Mereka lahir di enam negara, yakni Cape Verde, Prancis, Belanda, Portugal, Irlandia, dan Swiss. Semuanya kemudian bersatu di bawah bendera biru dengan bintang sepuluh, simbol kesatuan pulau mereka.

Diaspora ini menjadi kekuatan, bukan hambatan. Deroy Duarte, pemain kelahiran Belanda yang merupakan rekan satu tim Justin Hubner di Fortuna Sittard, mengaku bangga ketika bermain untuk negara kelahiran orangtuanya. Walau memiliki pengalaman dan budaya berbeda, para pemain cepat menemukan rasa kebersamaan yang membuat tim makin solid.

Salah satu kisah paling menarik datang dari Roberto “Pico” Lopes, bek kelahiran Dublin, Irlandia yang kini menjadi kapten timnas. Ia awalnya dihubungi mantan pelatih, Rui Aguas, lewat LinkedIn, dan sempat mengira pesan itu hanyalah lelucon. Setelah menerjemahkan pesan tersebut, Lopes menyetujui tawaran itu dan melakukan debut pada 2019. Kini, ia menjadi salah satu figur utama dalam sejarah tim yang berhasil membawa negaranya ke Piala Dunia.

Di ruang ganti, bahasa kreol Cape Verde yang berbasis bahasa Portugis menjadi pemersatu seluruh perbedaan. Meski sebagian besar pemain berbicara dalam bahasa Belanda, Prancis, atau Portugis, mereka berkomunikasi dengan kreol sebagai simbol kebersamaan. Musik tradisional pun mengalun tiap sesi latihan, yang menciptakan atmosfer yang hangat dan akrab.

3. Cape Verde mengombinasikan filosofi permainan dengan nilai hidup masyarakat mereka

Pelatih Pedro Leitao Brito, atau akrab disapa Bubista, menjadi sosok sentral di balik kebangkitan ini. Ia memimpin tim sejak 2020 dan dikenal karena ketenangan serta pendekatannya yang humanis. Bubista menolak pandangan Cape Verde sebagai tim kecil. Baginya, mereka hanyalah tim yang perlu percaya diri untuk bermimpi lebih besar.

Gaya bermain timnya mencerminkan karakter pelatihnya yang mengutamakan disiplin, efisien, dan berani. Cape Verde mencatat 7 clean sheet dari 10 laga kualifikasi, salah satu catatan terbaik bagi semua tim nasional Afrika. Mereka mengandalkan pertahanan rapat, gelandang teknis, serta transisi cepat dari sayap yang diisi pemain-pemain seperti Willy Semedo dan Ryan Mendes. Kedisiplinan ini membawa mereka unggul dari tim-tim besar, seperti Kamerun dan Nigeria, yang masih penuh ketidakpastian untuk lolos ke Piala Dunia 2026.

Filosofi Bubista berpadu dengan nilai budaya Cape Verde yang disebut morabeza. Dalam bahasa setempat, kata ini berarti 'santai', cara hidup yang menggambarkan kehangatan, keramahan, dan ketenangan dalam menghadapi kesulitan. Bagi pemain-pemain seperti Roberto Lopes, filosofi itu menjadi bahan bakar emosional di tiap laga untuk tetap tenang dan tangguh di tengah badai.

Nilai morabeza membuat Cape Verde tampil tanpa beban pada momen-momen krusial. Dalam sepak bola, mereka bukan hanya tim kuda hitam, melainkan juga simbol dari ketekunan dan kesabaran yang berbuah manis. Alih-alih mengganti staf kepelatihan pada pertengahan kompetisi, mereka memilih percaya kepada proses dengan membangun filosofi dan chemistry sekaligus memahami arti berjuang bersama. Kini, mereka membawa harapan baru ke Piala Dunia 2026 yang menginspirasi negara-negara kecil hingga bangsa besar yang belum pernah lolos ke Piala Dunia.

Pencapaian Cape Verde bukan sekadar statistik di papan skor, melainkan cermin dari keteguhan dan impian sebuah bangsa kecil di lautan Atlantik. Dari rumput sederhana di Praia hingga tampil di bawah gemerlap stadion Amerika Serikat, perjalanan Blue Sharks menjadi bukti jika sepak bola, seperti halnya kehidupan, membutuhkan keajaiban yang selalu berpihak kepada mereka yang berani bermimpi dan percaya dengan proses.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team