Ruben Amorim membangun Manchester United dengan pendekatan yang mengutamakan sistem secara konsisten. Skema 3-4-3 atau 3-4-2-1 menuntut dua gelandang yang mampu bermain vertikal, agresif, dan dinamis dalam ruang sempit. Dalam struktur ini, lini tengah bukan sekadar pengendali tempo, melainkan mesin transisi cepat.
Namun, karakter permainan Kobbie Mainoo justru bergerak di spektrum yang berbeda. Ia unggul dalam ball retention, kontrol tempo, serta progresi bertahap melalui carry dan kombinasi pendek. Mainoo nyaman meredam permainan, membaca ruang, dan menjaga kesinambungan sirkulasi bola. Profil tersebut membuatnya lebih menyerupai pengendali permainan ketimbang pemecah ritme.
Benturan muncul ketika Mainoo diproyeksikan sebagai number 8 dalam double pivot. Peran ini menuntut jankauan area luas, intensitas box-to-box, serta duel fisik yang konstan, sesuatu yang belum sepenuhnya menjadi kekuatan Mainoo. Di sisi lain, jika ditempatkan sebagai number 6, ia dituntut menjadi poros permainan dan jangkar yang disiplin, peran yang oleh Amorim dinilai belum konsisten dalam permainannya.
Sebaliknya, Bruno Fernandes, Manuel Ugarte, dan Casemiro lebih sesuai dengan kebutuhan sistem tersebut. Fernandes mengandalkan direct passing, tempo tinggi, dan keberanian mengambil risiko vertikal, sementara Casemiro dan Ugarte menawarkan agresivitas serta kapasitas bertahan yang jelas. Dalam konteks ini, ketidakcocokan Mainoo bukan soal kualitas, melainkan ketidaksinkronan antara konsep pelatih dan profil pemain.