Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
potret stadion Camp Nou, markas FC Barcelona
potret stadion Camp Nou, markas FC Barcelona (pexels.com/@javier-gallegos-241846842)

LaLiga Spanyol pernah menjadi kiblat sepak bola dunia ketika nama-nama besar seperti Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi beraksi setiap pekan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pamornya di panggung global terlihat menurun, terutama dalam hal kekuatan finansial. Perbandingan dengan English Premier League (EPL) makin menegaskan jurang yang terbuka lebar antara keduanya.

Fenomena ini tidak hanya terkait dengan performa di lapangan, tetapi juga menyangkut manajemen finansial, distribusi pendapatan, dan strategi globalisasi liga. Premier League kini menjadi magnet utama bagi para pemain top dan investor, sementara LaLiga menghadapi keterbatasan struktural. Lantas, apa yang membuat LaLiga stagnan dan tertinggal dalam persaingan finansial?

1. Krisis finansial kembali menghantui LaLiga Spanyol akibat ketatnya aturan finansial

Pada awal 2000an, sepak bola Spanyol pernah mengalami periode penuh kekacauan saat lebih dari 20 klub masuk dalam proses kebangkrutan dan utang menumpuk hingga ratusan juta pound sterling. Krisis itu muncul lagi ketika Lionel Messi, ikon terbesar LaLiga Spanyol, terpaksa meninggalkan Barcelona pada 2021 karena kendala finansial. Demi menghindari keruntuhan lebih lanjut, LaLiga sejak 2013 menerapkan kerangka kontrol ekonomi yang ketat dengan sistem salary cap dan pengawasan ketat ala Financial Fair Play (FFP) domestik.

Aturan tersebut terbukti menyelamatkan stabilitas klub, mengurangi utang, dan menumbuhkan profesionalisme dalam manajemen. Namun, sisi lain dari kebijakan ini yaitu menurunnya fleksibilitas klub untuk bergerak di pasar transfer. Dilansir The Athletic, Barcelona menjadi contoh paling nyata dengan utang sekitar 1,3 miliar euro atau setara Rp25 triliun lebih pada 2021 dan harus menjual aset atau menggunakan financial levers untuk mendaftarkan pemain baru. Bahkan upaya seperti penjualan hak masa depan stadion dan proyek Barca Studios menuai kontroversi karena dianggap tidak berkelanjutan.

Kondisi ini tidak hanya menimpa raksasa seperti Barcelona atau Real Madrid. Klub-klub kecil seperti Getafe, yang secara finansial relatif sehat, justru kesulitan mendaftarkan pemain akibat terbatasnya pendapatan stadion dan sponsor. Kasus penjualan paksa Christantus Uche kepada Crystal Palace pada September 2025 menggambarkan bagaimana keterbatasan finansial memaksa klub melepas aset terbaik mereka. Akibatnya, LaLiga lebih sering berperan sebagai penjual talenta dibanding pembeli, kontras dengan masa Los Galacticos Real Madrid saat transfer besar menjadi identitas liga.

2. Distribusi pendapatan yang tak merata membuat klub LaLiga tak mampu belanja besar

Berbanding terbalik dengan LaLiga, Premier League berhasil menciptakan ekosistem keuangan yang jauh lebih merata. Klub promosi di Inggris menerima dana besar sehingga mampu berinvestasi ratusan juta euro, seperti Sunderland yang menghabiskan 200 juta euro (Rp3,855 triliun) pada bursa transfer musim panas 2025 untuk pemain baru. Hal ini membuat persaingan di setiap level kompetisi tetap sengit, bahkan klub papan bawah mampu menarik pemain kelas atas.

Pada 2023, UEFA mencatat Premier League menghasilkan total pendapatan sebesar 6 miliar pound sterling atau setara Rp133,2 triliun, jumlah yang hampir menyamai gabungan LaLiga dan Bundesliga Jerman. Tidak hanya itu, rata-rata pendapatan klub Inggris berada di angka 200 juta pound sterling (Rp4,446 triliun). Nilai tersebut tiga kali lebih besar dibanding pemasukan klub papan tengah LaLiga.

Dengan keunggulan finansial tersebut, klub-klub papan tengah Inggris mampu belanja lebih banyak dibanding tim besar di Spanyol. Contohnya, Chelsea mengeluarkan hampir 2 miliar euro (Rp38,6 triliun) dalam kurun 2019 hingga 2024. Jumlah itu jauh melampaui kemampuan belanja sebagian besar klub LaLiga.

Sementara itu, distribusi pendapatan LaLiga masih condong kepada Real Madrid dan Barcelona, meski sistem hak siar kolektif mulai diterapkan sejak 2015. Akan tetapi, klub-klub seperti Sevilla, Real Betis, atau Villarreal tetap kesulitan mengejar ketertinggalan karena pendapatan mereka terlalu kecil dibanding dua raksasa. Situasi timpang ini membuat daya tarik liga secara keseluruhan menurun, karena hanya segelintir klub yang bisa bersaing di level Eropa.

3. Efek domino ketatnya aturan finansial, daya saing LaLiga Spanyol di pasar global menurun

Keterbatasan belanja klub LaLiga membuat daya saing mereka menurun di pasar global. Premier League tidak hanya menjual pertandingan, tetapi juga menjual gaya hidup, hiburan, dan distribusi konten internasional yang masif. Klub-klub Inggris mengembangkan model kepemilikan multi-klub, menggandeng private equity, hingga merambah produksi konten dokumenter untuk memperkuat citra merek.

Sebaliknya, LaLiga masih terjebak dalam masalah struktural. Hak siar domestik stagnan, pembajakan siaran merugikan liga sekitar 510–595 juta pound sterling (Rp11,3–13,2 triliun) per tahun, dan ekspansi ke pasar baru berjalan lambat. Presiden LaLiga, Javier Tebas, berupaya memperluas pasar ke Amerika Serikat, tetapi kritik menyebut strategi ini tidak cukup untuk menutup celah dengan Premier League.

Dampaknya terlihat nyata pada bursa transfer 2025. Pemain berbakat Spanyol lebih memilih pindah ke Inggris karena tawaran gaji dan prospek lebih baik. Crystal Palace, misalnya, mampu membeli bintang muda Getafe, sedangkan klub promosi Inggris seperti Sunderland bisa menghabiskan dana 200 juta euro. Meski Real Madrid dan Barcelona tetap punya daya tarik historis, kolektivitas LaLiga sebagai liga top kian dipertanyakan. 

LaLiga Spanyol berhasil menyehatkan fondasi finansial setelah masa krisis, tetapi aturan ketat justru mengekang daya saing klub di pasar global. Selama distribusi pendapatan tidak merata dan strategi internasional tertinggal dari Premier League, LaLiga akan terus berada di posisi sulit untuk mengejar dominasi finansial.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorAtqo Sy