Keterbatasan belanja klub LaLiga membuat daya saing mereka menurun di pasar global. Premier League tidak hanya menjual pertandingan, tetapi juga menjual gaya hidup, hiburan, dan distribusi konten internasional yang masif. Klub-klub Inggris mengembangkan model kepemilikan multi-klub, menggandeng private equity, hingga merambah produksi konten dokumenter untuk memperkuat citra merek.
Sebaliknya, LaLiga masih terjebak dalam masalah struktural. Hak siar domestik stagnan, pembajakan siaran merugikan liga sekitar 510–595 juta pound sterling (Rp11,3–13,2 triliun) per tahun, dan ekspansi ke pasar baru berjalan lambat. Presiden LaLiga, Javier Tebas, berupaya memperluas pasar ke Amerika Serikat, tetapi kritik menyebut strategi ini tidak cukup untuk menutup celah dengan Premier League.
Dampaknya terlihat nyata pada bursa transfer 2025. Pemain berbakat Spanyol lebih memilih pindah ke Inggris karena tawaran gaji dan prospek lebih baik. Crystal Palace, misalnya, mampu membeli bintang muda Getafe, sedangkan klub promosi Inggris seperti Sunderland bisa menghabiskan dana 200 juta euro. Meski Real Madrid dan Barcelona tetap punya daya tarik historis, kolektivitas LaLiga sebagai liga top kian dipertanyakan.
LaLiga Spanyol berhasil menyehatkan fondasi finansial setelah masa krisis, tetapi aturan ketat justru mengekang daya saing klub di pasar global. Selama distribusi pendapatan tidak merata dan strategi internasional tertinggal dari Premier League, LaLiga akan terus berada di posisi sulit untuk mengejar dominasi finansial.