Berbanding terbalik di Timnas Jerman, performa Florian Wirtz di Premier League 2025/2026 belum mengesankan karena ia harus berhadapan langsung dengan intensitas fisik yang tidak ia jumpai di Jerman. Dilansir Sky Sports, Gary Neville menyebutnya terlihat seperti anak kecil ketika Liverpool kalah 0-3 dari Manchester City pada pekan ke-11. Statistik duel fisiknya menunjukkan penurunan signifikan dengan hanya 35 persen duel darat yang ia menangkan, jauh lebih rendah dibandingkan musim sebelumnya di Bundesliga. Ia beberapa kali kehilangan bola akibat tubuhnya terdorong lawan.
Hambatan lain muncul karena perubahan peran yang cukup ekstrem dibandingkan masa emasnya di Bayer Leverkusen. Di Inggris, ia beberapa kali diminta turun sangat dalam untuk membantu build-up sebagai upaya menutup kehilangan distribusi Trent Alexander-Arnold. Ketika bermain sebagai number 10, ia lebih banyak menerima bola dalam posisi statis dan berada di antara blok lawan yang sangat rapat. Selain itu, ia harus menjalankan tanggung jawab pressing yang lebih berat, yang membuat energinya terkuras sebelum menyentuh fase kreatif.
The Reds kini mengalami fase ketidakseimbangan yang merembet ke performa Wirtz. Alexis Mac Allister belum stabil, Alexander Isak masih mencari ketajaman setelah kurangnya pramusim, dan performa Mohamed Salah serta Cody Gakpo sedang menurun. Perubahan di sektor full-back turut membuat ritme progresi terganggu. Dalam struktur yang belum matang ini, Wirtz kerap terjebak dalam permainan yang tidak memiliki arah jelas.
Secara kualitas, jejak kreativitasnya masih terlihat meski belum dikonversi menjadi angka. Wirtz sudah menciptakan 16 peluang di Premier League, tetapi tidak satu pun berujung gol. Flick briliannya kepada Salah kala melawan Chelsea seharusnya menjadi assist, tetapi tembakannya gagal bersarang. Peluang untuk Alexander Isak, Conor Bradley, dan Dominik Szoboszlai juga tidak diselesaikan dengan baik.
Penurunan frekuensi sentuhan menjadi salah satu indikator kuat mengapa kontribusinya terasa kurang. Menurut The Telegraph, dari 80 sentuhan per laga di Leverkusen, jumlah itu turun menjadi 58 di Liverpool. Sentuhan di area final third turun dari 45 menjadi hanya 27. Kondisi ini menandakan, The Reds belum menemukan cara untuk mengalirkan permainan melalui Wirtz sebagaimana Xabi Alonso membangun Leverkusen dengan memanfaatkan kreativitas sang pemain.
Faktor psikologis dan adaptasi lingkungan baru ikut menambah tekanan. Arne Slot berkali-kali menjelaskan, tempo Premier League sangat menguras tenaga pemain muda yang baru pertama kali pindah ke luar negeri. Wirtz bahkan mengakui, intensitas pressing membuatnya berlari terlalu banyak, sehingga kualitas teknisnya menurun ketika menerima bola karena ia tidak cukup segar untuk melakukan eksekusi terbaik.