Kesuksesan Mjallby AIF jelas jadi kabar yang disambut baik penggemar sepak bola seantero dunia. Kisah mereka diliput banyak media besar. Strategi manajemen dan taktik mereka di lapangan dikupas habis, karier pemain dan pelatih mereka mungkin bakal meroket. Pertanyaannya, apakah mereka bisa jadi seperti Trabzonspor, Bayer Leverkusen, dan Krasnodar yang relatif konsisten atau justru mengekor nasib malang Leicester City?
Pada fase ini, mari berkenalan dengan istilah one hit wonder. Terma ini pertama kali muncul dari industri hiburan, merujuk kepada single milik musisi yang hits dalam periode tertentu, tetapi tak berhasil membuat musisi itu punya karier yang langgeng. Ini seperti Gotye yang hilang dari peredaran setelah merilis “Somebody I Used To Know” atau MAGIC! yang lenyap setelah lagu “Rude” tren pada masanya.
Dalam manajemen, one hit wonder didefinisikan Derler dkk dalam jurnal berjudul "Underdogs and One-Hit Wonders: When Is Overcoming Adversity Impressive?" sebagai kegagalan setelah meraih kesuksesan. Ini definisi yang pas untuk Leicester City yang mengalami fluktuasi performa dan akhirnya terelegasi ke liga kasta kedua pada 2023 setelah merebut gelar juara EPL pada 2016. Mereka sempat kembali ke EPL pada 2024/2025, tetapi akhirnya terpental lagi ke EFL Championship 2025/2026.
Ada beberapa faktor yang bikin Leicester City bernasib buruk. Salah satunya kesalahan kalkulasi keuangan yang bikin diet transaksi pemain mereka berubah jadi bencana. Lantas, bagaimana dengan Mjallby AIF? Seperti Leicester, Mjallby AIF juga bukan tipe tim yang suka melakukan transaksi pemain secara ugal-ugalan alias cenderung mempertahankan pemain dalam waktu lama.
Di tengah sistem persaingan kapitalis seperti saat ini, kecenderungan hemat anggaran itu terbukti jadi senjata makan tuan buat Leicester City. Namun, membandingkan dua tim ini secara langsung juga bukan hal bijak. Itu mengingat Mjallby AIF berlaga di Allveskan Swedia yang regulasi keuangannya lebih konservatif ketimbang EPL.