Persaingan untuk posisi number 10 di Timnas Inggris kian sengit menjelang Piala Dunia 2026. Nama-nama elite seperti Jude Bellingham, Phil Foden, dan Cole Palmer menawarkan profil yang berbeda, tetapi Morgan Rogers unggul dari sisi fungsi kolektif. Ia tidak selalu menjadi pusat perhatian, tetapi konsisten menjalankan peran yang dibutuhkan sistem.
Dibandingkan Foden yang cenderung mengambil risiko tinggi dan Palmer yang menonjol dalam situasi 1 lawan 1, Rogers menawarkan tactical reliability. Ia disiplin menjaga struktur, aktif dalam fase bertahan, serta mampu membuat keputusan yang kontekstual. Dibandingkan para pesaingnya, Rogers memiliki jumlah assist, dribel, dan sentuhan di kotak penalti yang lebih tinggi sejak awal musim lalu.
Pendekatan Thomas Tuchel yang menekankan keseimbangan tim membuat profil Rogers makin relevan. Tuchel secara terbuka menegaskan, ia tidak memilih pemain berdasarkan reputasi semata. Dalam kerangka ini, Rogers menjadi pilihan logis karena mampu menghubungkan lini, menutup ruang, dan tetap produktif di sepertiga akhir.
Keunggulan Rogers bukan terletak pada ledakan individual semata, melainkan konsistensi kontribusi lintas fase permainan. Ia menawarkan stabilitas yang dibutuhkan dalam turnamen besar, ketika detail kecil dan disiplin taktis sering kali menentukan hasil akhir. Dengan performa dan kebutuhan taktis The Three Lions saat ini, Rogers tidak lagi hanya diposisikan sebagai alternatif. Ia merupakan kandidat utama yang siap secara fungsional, baik dari sisi taktik, mentalitas, maupun pengalaman kompetitif di level tertinggi.
Performa Morgan Rogers bersama Aston Villa telah membawanya sejajar dengan beberapa kandidat elite di Timnas Inggris. Ia bukan lagi hadir sebagai opsi, melainkan sebagai pemain dengan kematangan fungsi yang selaras dengan arah perkembangan sepak bola Inggris.