Leicester City, Ipswich Town, dan Southampton menjadi tiga tim yang terdegradasi dari English Premier League (EPL) 2024/2025. Ketiganya mesti bermain di Championship pada 2025/2026. Di kompetisi kasta kedua sepak bola Inggris tersebut, mereka diprediksi akan menjadi pesaing kuat untuk kembali meraih tiket promosi. Salah satu alasannya karena adanya suntikan dana besar dari parachute payments. Apa itu?
Parachute Payments di Premier League, Skema Finansial Pedang Bermata 2

Intinya sih...
Parachute payments adalah skema finansial Premier League untuk klub degradasi yang menerima suntikan dana dari pembagian hak siar saat masih bermain di EPL.
Parachute payments menciptakan disparitas yang besar antara klub yang terdegradasi dan klub di Championship, serta menciptakan para tim yoyo.
Pemerintah Inggris sedang dalam proses membentuk regulator independen untuk mengatasi polemik parachute payments dengan meluncurkan rancangan undang-undang bernama football governance bill (FGB).
1. Parachute payments merupakan cara Premier League melindungi klub degradasi
Parachute payments (PP) merupakan skema finansial yang diberlakukan Premier League untuk klub-klub degradasi. Para korban turun kasta tersebut akan menerima suntikan dana yang merupakan hasil dari pembagian hak siar saat masih bermain di EPL. Strategi ini mulai diperkenalkan pada awal 2006/2007.
Alasan di balik pembentukan PP terbilang sederhana. Klub-klub degradasi diharapkan bisa tetap sehat secara keuangan dan kompetitif saat berkiprah di kompetisi level bawah. Dengan begitu, mereka memiliki peluang untuk kembali ke EPL atau setidaknya tidak hancur karena mengalami kebangkrutan.
Bukanlah rahasia jika EPL merupakan liga yang memiliki nilai hak siar yang begitu tinggi. Saat terdegradasi, klub jelas tidak akan mendapat kue sebesar seperti saat masih bermain di kompetisi ini. Namun, terlempar dari EPL juga memberikan efek domino bagi anggaran klub.
Selain tidak lagi menerima kucuran dana yang melimpah dari hak siar, klub-klub yang terdegradasi akan mengalami penyusutan pemasukan dari aspek lain. Contohnya kontrak sponsor. Tidak bermain di EPL membuat nilai jual mereka menurun secara drastis.
Pada awalnya, klub-klub yang terdegradasi menerima PP selama 4 tahun. Namun, EPL memangkasnya menjadi 3 tahun mulai pada 2015/2016. Secara praktik, PP dibayar bertahap, yaitu 55 persen pada tahun pertama, 45 persen pada tahun kedua, dan 20 persen pada tahun ketiga.
Jika melihat angka riil, nilai PP terhitung sangat besar. Sebagai contoh terbaru, Luton Town, Burnley, dan Sheffield United sebagai tiga klub yang terdegradasi dari EPL 2023/2024 menerima uang sekitar 49 juta pound sterling (Rp1,07 triliun) pada awal 2024/2025. Sementar, menurut BBC Sports, rata-rata, dana total PP selama 3 tahun bagi masing-masing klub berada di angka sekitar 101 juta pound sterling (Rp2,2 triliun).
2. Parachute payments juga menciptakan disparitas yang besar
Jika menganalisis hasil di lapangan, parachute payments memang berhasil memenuhi tujuannya. Makin banyak klub yang terdegradasi langsung kembali meraih tiket promosi pada musim berikutnya. Norwich City, Burnley, dan Sheffield United bisa menjadi contoh dengan melihat hasil akhir mereka dalam beberapa musim belakangan.
Di sisi lain, PP justru menciptakan tim yoyo. Itu merupakan sebutan bagi mereka yang begitu sering naik turun kasta. Klub-klub tersebut begitu dominan ketika bertarung di Championship, tetapi tidak cukup kuat saat bermain di Premier League.
Fenomena ini bahkan menguat dalam 2 musim terakhir. Selama periode tersebut, tiga tim yang promosi ke EPL selalu langsung terdegradasi kembali pada akhir musim. Sebelumnya, skenario semacam itu baru pernah terjadi pada 1997/1998 dengan Bolton Wanderers, Barnsley, dan Crystal Palace sebagai korban. Namun, saat itu, PP tentu belum hadir.
Jika dilihat dari sudut pandang Championship, artinya keberadaan PP juga menciptakan disparitas yang signifikan. Para penghuni lama kompetisi ini makin sulit bersaing meraih tiket promosi. Sebabnya, klub-klub yang baru datang dengan membawa uang tambahan yang jauh melimpah. Hasilnya, persaingan menjadi terbatas.
Selain dua sisi di atas, sebetulnya ada satu kekurangan lain dari PP. Gejala gagalnya tim promosi untuk bertahan di EPL tidak terlepas karena sistem skema tersebut sendiri. Pasalnya, EPL mengatur dana PP dihentikan ketika klub-klub penerima kembali naik kasta dalam jangka waktu 3 tahun. Nantinya, jatah PP mereka akan dibagi kepada tim EPL lain. Dengan begitu, lagi-lagi, sebuah pemicu hadirnya jurang pemisah pun tercipta.
3. Regulator independen bisa menjadi solusi polemik parachute payments
Demi mengatasi polemik parachute payments dan permasalahan sepak bola secara keseluruhan, pemerintah Inggris Raya saat ini sedang dalam proses membentuk regulator independen. Mereka meluncurkan rancangan undang-undang bernama Football Governance Bill (FGB) pada Maret 2024. Mengutip situs resmi UK Parliament, FGB telah melewati tahap pertama, yaitu persidangan di dewan bangsawan (House of Lords). Kini, FGB tengah berada pada fase committee stage di dewan legislatif (House of Commons). Ada empat prosedur lagi sebelum akhirnya FGB mencapai keputusan.
Premier League memang tidak lagi dikelola English Football League (EFL) sejak memutuskan memisahkan diri pada 1992/1993. Ini menjadi alasan di balik leluasanya mereka dalam menciptakan berbagai kebijakan, termasuk skema PP. Namun, dengan kerugian yang sudah muncul, pemerintah pun didesak untuk bersikap, yang akhirnya direspons dengan pengajuan FGB tersebut.
Rick Parry, yang menjabat sebagai chairman EFL dari 2019 dan merupakan chief executive pertama EPL pada 1992--1997, berharap FGB dan regulator independen bisa memberikan solusi yang jitu. Pria yang kini berusia 70 tahun dan pernah menjadi chief executive Liverpool pada 1997--2009 tersebut menilai, PP sudah menciptakan jarak yang begitu lebar antara EPL dan Championhip. Ia menegaskan tidak meminta agar skema tersebut dihapuskan. Parry hanya ingin pendistribusian keuangan diperbaiki sehingga persaingan di kompetisi yang kini dikelolanya lebih adil.
Selagi menunggu FGB selesai, kiprah tim-tim degradasi dan promosi bakal terus menjadi sorotan sebagai salah satu tolak ukur dari kondisi pedang bermata dua yang ditimbulkan PP. Leicester City, Ipswich Town, dan Southampton bakal bertarung di Championship 2025/2026. Sementara, Leeds United, Burnley, dan Sunderland menjadi pendatang anyar di EPL untuk musim yang sama.