Kebijakan imigrasi Donald Trump menjadi salah satu titik krusial dalam politisasi Piala Dunia 2026. Pemerintah Amerika Serikat menerapkan larangan perjalanan terhadap 12 negara, termasuk bagi negara peserta seperti Iran, Senegal, Pantai Gading, dan Haiti dengan dalih keamanan nasional. Kebijakan tersebut berlaku bagi wisatawan dan pemegang visa kunjungan, kategori yang justru menjadi jalur utama bagi suporter internasional.
Pengecualian memang diberikan kepada atlet, staf tim, dan keluarga inti pemain. Namun, pengecualian itu tidak mencakup pendukung yang ingin hadir langsung di stadion. Oleh karena itu, negara-negara yang tim nasionalnya lolos ke Piala Dunia berpotensi tampil tanpa kehadiran suporternya di Amerika Serikat, kecuali pada laga yang digelar di Kanada atau Meksiko.
Situasi ini sudah pasti bertolak belakang dengan prinsip dasar FIFA. Dilansir The Athletic, pada 2017, Gianni Infantino pernah menegaskan, setiap tim yang lolos Piala Dunia, termasuk suporter dan ofisialnya, harus mendapat akses ke negara tuan rumah. Pernyataan tersebut kini terdengar seperti retorika kosong karena realitas kebijakan negara tuan rumah justru membatasi partisipasi publik global.
Pemerintah Amerika Serikat berdalih pada data overstay visa yang tinggi. Senegal dan Pantai Gading, misalnya, disebut memiliki tingkat overstay di atas 4 persen untuk visa wisata, sedangkan negara Haiti bahkan melampaui 30 persen. Narasi keamanan ini menjadi landasan resmi kebijakan, tetapi dampaknya secara langsung menggerus makna Piala Dunia sebagai perayaan inklusivitas.
Akibatnya, Piala Dunia 2026 bergerak menjauh dari karakter universalnya. Turnamen yang seharusnya netral dan inklusif justru tunduk pada logika politik domestik sehingga legitimasi moralnya ikut dipertanyakan. Sepak bola justru kehilangan salah satu fondasi globalnya ketika paspor dan kebijakan negara tuan rumah membatasi akses fans internasional.