Liverpool menjadi contoh nyata bagaimana data dapat menjadi landasan keputusan strategis. Ian Graham mengisahkan momen ketika meyakinkan Pelatih Juergen Klopp untuk merekrut Sadio Mane dari Southampton. Saat itu, Klopp sebenarnya sangat menginginkan Mario Goetze yang masih bermain di Bayern Munich. Namun, berkat analisis data yang disajikan Graham, fokus transfer akhirnya beralih kepada Mane.
The Reds melihat Mane menawarkan atribut-atribut yang undervalued di pasar saat itu, seperti agresivitas dalam pressing, kemampuan eksplosif di ruang sempit, dan konsistensi dalam menciptakan peluang yang tidak selalu tercermin dalam angka-angka konvensional. Pendekatan ini mencerminkan filosofi data Liverpool yang lebih menekankan efisiensi dan kecocokan taktik, bukan popularitas nama besar atau ekspektasi media.
Model seperti ini juga diterapkan Brentford dan Brighton & Hove Albion. Dengan dukungan perusahaan analitik seperti Smartodds dan Starlizard, mereka mampu menemukan pemain potensial seperti Kaoru Mitoma dan Moises Caicedo sebelum menjadi bintang. Pendekatan ini bukan hanya tentang angka, tetapi juga tentang strategi pencarian nilai dalam pasar pemain yang kompetitif.
Fungsi data meluas ke ranah performa fisik dan taktik. Arsenal, melalui Sarah Rudd dan timnya, pernah menghadapi kesulitan ketika mencoba mengukur seberapa efektif pergantian sisi permainan. Setelah diskusi dengan staf pelatih, definisi metrik pun diubah untuk lebih mencerminkan intensi taktik yang diinginkan, yaitu menciptakan keunggulan jumlah pemain di sisi lapangan tertentu. Perubahan kecil dalam definisi ini menunjukkan, data yang kuat pun membutuhkan dialog yang sehat antardivisi.