Konflik Rwanda–Republik Demokratik Kongo (RDK) menjadi latar belakang utama kontroversi Visit Rwanda. Laporan PBB sejak 2022 hingga 2025 menuduh Rwanda memberikan dukungan militer, logistik, dan finansial kepada kelompok bersenjata M23 yang beroperasi di wilayah timur RDK. Tuduhan ini diperkuat berbagai laporan yang menyebut Rwanda ikut mengendalikan pergerakan kelompok tersebut.
PBB mencatat, Rwanda berada dalam posisi de facto pengendali M23. Laporan lain menyebut setidaknya 319 warga sipil terbunuh per Juli 2025 dalam operasi M23 dengan dukungan pasukan Rwanda Defence Force. Selain itu, M23 dituduh melakukan pola eksekusi singkat, penyiksaan, penghilangan paksa, dan kekerasan seksual sistematis.
Dimensi ekonomi juga memperumit konflik tersebut. The Athlethic melaporkan, aktor yang terkait Rwanda diduga menjarah mineral bernilai tinggi seperti emas dan kobalt di wilayah pertambangan yang dikuasai M23. Aktivitas ini mempertegas argumen bahwa konflik tidak hanya bermotif politik, tetapi juga berkaitan dengan kepentingan ekonomi.
Respons internasional muncul dalam bentuk tekanan diplomatik dan tuntutan moral. PBB menyerukan Rwanda untuk menghentikan dukungan kepada M23 serta menarik pasukan dari wilayah RDK. Menteri Luar Negeri RDK, Therese Kayikwamba Wagner, mengirim surat kepada Arsenal, Bayern Munich, dan PSG untuk menghentikan kerja sama komersial dengan Rwanda yang disebut sebagai pendanaan penuh darah.
Meski Presiden Donald Trump memfasilitasi perjanjian damai antara Presiden Rwanda, Paul Kagame, dan Presiden RDK, Felix Tshisekedi, di Washington, Amerika Serikat laporan BBC menunjukkan bentrokan terus berlanjut selepas penandatanganan kesepakatan tersebut. Stabilitas kawasan tidak mengalami perbaikan signifikan, dan tuduhan terhadap Rwanda tetap mengemuka.
Namun kabar baiknya, Arsenal dan Bayern Munich telah menghentikan kerja sama dengan Visit Rwanda, langkah yang menandai peninjauan ulang peran klub dalam strategi pencitraan Rwanda. Keputusan ini mempersempit ruang pemerintah Rwanda memanfaatkan sepak bola sebagai pengalih isu dari situasi genting di RDK. Langkah tersebut juga menegaskan paradoks ketika Rwanda dipuji sebagai negara maju oleh Barat, tetapi tetap dikaitkan dengan salah satu krisis kemanusiaan paling serius di Afrika.
Strategi Visit Rwanda menunjukkan bagaimana olahraga dapat menjadi alat diplomasi sekaligus sarana menutupi persoalan politik yang rumit. Kontroversi di balik kampanye itu mengingatkan bahwa citra global sebuah negara tidak pernah terlepas dari realitas yang melatarinya.