Sebenarnya kenaikan tarif ini bertujuan untuk membawa kembali pabrik berteknologi tinggi ke Amerika. Namun kebijakan malah memiliki efek sebaliknya bagi konsumen sehari-hari. Alih-alih memindahkan pabrik ke negara asal, langkah tersebut dapat mengubah anggaran rumah tangga, melansir Economic Times.
iPhone tidak dibuat di satu negara. iPhone terdiri dari komponen-komponen yang bersumber dari seluruh dunia—dirakit dengan presisi di China di mana selama puluhan tahun untuk menjaga biaya tetap rendah.
Wayne Lam, analis riset di TechInsights mengambil contoh iPhone 16 Pro yang dijual USD1.100 (Rp18,6 juta). Dia memperkirakan perangkat keras tersebut menghabiskan biaya sekitar USD550 (Rp9,2 juta) bagi Apple. Setelah dirakit dan diuji, angka tersebut naik menjadi USD580 (Rp9,8 juta).
Bahkan dengan penambahan perangkat lunak dan layanan seperti iCloud dan iMessage, perusahaan yang didirikan Steve Job itu mempertahankan margin yang layak. Namun tarif baru mengubah permainan.
Dengan tarif 54 persen yang dikenakan pada barang-barang buatan China, biaya USD580 itu membengkak menjadi sekitar USD850 (Rp14,4 juta). Tanpa kenaikan harga, laba akan hilang dan Apple tidak bisa menjadi perusahaan triliun dolar jika menjual harga pokok saja.